Minggu, 20 November 2011

HINDU DAN KAHARINGAN

Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha adalah 5 agama besar yang resmi di akui oleh Negara Indonesia pada jaman Orde Baru yang berpengaruh juga terhadap masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Karena Kaharingan merupakan sebuah aliran kercayaan, maka mereka harus memiih salah satu dari kelima agama yang di akui oleh Negara untuk juga bisa mendpatkan pengakuan resmi oleh Pemerintah. Dan akhirnya Hindu lah yang dipilih Kaharingan untuk dapat mewadahi kepercayaan asli masyarakat Dayak dikarenakan adanya persamaan mendasar antara keduanya, khususnya dengan kesamaan masyarakat bali sebagai penganut mayoritas agama Hindu di Indonesia. Persamaan antara Agama hindu dan Kaharingan adalah:
- Reinkarnasi : didalam Hindu dan Kaharingan terdapat kepercayaan tentang adanya reinkarnasi yaitu roh- roh yang sudah meninggal dapat lahir kembali, bisa kembali menjadi manusia, binatang, tumbuhan, atau pada benda- benda mati, seperti bebatuan, sungai, puncak, gunung- gunung, dan sebagainya. Pernah saya bersama Kakek masuk kedalam hutan untuk mencari tumbuhan yang nanti akan dijadikan sebagai ramuan obat penyakit, kakek bilang sebelum kita memetik dedaunan, akar- akaran atau apapun itu, kita harus meminta ijin terlebih dahulu, karena menurutnya setiap apa yang ada di alam ini memiliki roh dan penunggunya. Bila tidak meminta ijin, maka nantinya roh tersebut bisa murka, dan ramuan yang kita petik tidak akan berfungsi atau manjur.
- Upacara kematian dan pemujaan terhadap arwah leluhur : dari perjalanan yang pernah saya lalui khususnya dari daerah murung raya, sampai dengan wilayah kotawaringin barat dan sekitarnya, terdapat tiga macam tradisi dalam memperlakukan jenazah yang sudah meninggal dalam kepercayaan kaharingan, yaitu dikubur dalam tanah, disemayamkan diatas tanah atau pohon didalam hutan dan dikremasi. Tapi suku Dayak Ngaju biasanya jenazahnya dikuburkan terlebih dahulu, setelah beberapa tahun digali lalu di bakar. Upacara ini memiliki persamaan dengan di Bali di mana jenazah orang yang meninggal ada yang dikremasi dikubur di dalam tanah, atau disemayamkan di atas tanah. Arwah leluhur yang telah meninggal pada masyarakat Dayak dipercayai bersemayam di puncak-puncak pegunungan atau di hutan-hutan dan mempunyai kekuatan untuk melindungi keturunannya. Sedangkan di Bali arwah leluhur dipuja di mrajan (pura milik keluarga).
- Pemujaan kepada alam : hutan adalah alam yang paling berarti dan dibanggakan oleh masyarakat suku Dayak, manfaat hutan bagi suku Dayak adalah sebagai tempat tinggal Dewa penguasa hutan dan arwah nenek moyang yang melindungi manusia. Selain itu hutan juga sebagai sumber mata pencahrian bagi kehidupan karena dapat memberikan kebutuhan sandang dan pangan, seperti berburu binatang dan pencarian makanan di hutan. Sedangkan di bali praktik upacara-upacara yang berhubungan dengan lingkungan alam masih berjalan lestari sampai saat ini, seperti upacara Tawur Agung, Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra, dan sebagainya.
Setelah bergabung dengan agama Hindu Dharma, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Hindu Dharma. Konsekuensi logis dan bergabungnya mereka ke dalam agama Hindu Dharma adalah dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu Dharma di Indonesia.
Setelah reformasi yang menggantikan keruntuhan orde baru, mulai lah muncul perpecahan- perpecahan diantara umat Hindu kaharingan. ada yang masih tetap ingin bergabung dengan agama Hindu, da ada juga yang menyatakan bahwa Hindu Kaharingan adalah agama yang berdiri sendiri dan terpisah dari agama Hindu Dharma. Saat ini mereka yang menganggap tidak tergabung dalam agama hindu telah berjuang memperjuangkan kepada Pemerintah agar Kaharingan bisa diakui sebagai agama resmi oleh Negara Indonesia, terlihat dari beberapa majelis wadah umat hindu Kaharingan seperti Majelis Hindu Kaharingan dan Badan Agama kaharingan Dayak Indonesia (BAKDI).
ntara umat Hindu Kaharingan yang tetap ingin bergabung dan yang ingin keluar dari agama Hindu Dharma tersebut tentu memiliki pemahaman yang berbeda mengenai ajaran Hindu Dharma itu sendiri. Pihak yang ingin keluar dari agama Hindu Dharma menganggap ajaran Hindu Dharma tidak cocok diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Di pihak lain, sebagian dari mereka menganggap ajaran Hindu Dharma cocok dan relevan untuk diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Untuk itu perlu dibahas satu demi satu aspek-aspek ajaran Hindu Dharma yang relevan dengan kepercayaan Kaharingan.
Konsep-Konsep Upacara dalam Ajaran Hindu Dharma

Di dalam ajaran agama Hindu Dharma, upacara-upacara keagamaan terbagi dalam lima kelompok besar, atau sering disebut dengan Panca Yadnya. Kelima kelompok hesar tersebut adalah:
a) Dewa Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Tuhan beserta seluruh manifestasinya (perwujudan Tuhan dalam bentuk dewa-dewa);
b) Rsi Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para rsi, pandita, nabi atau kaum ulama, karena berjasa sebagai perantara dalam menjalin hubungan antara manusia dengan Tuhan dan untuk memberikan ajaranajaran suci kepada manusia.
c) Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para leluhur atau orang tua yang sudah meninggal sebagai perantara kelahiran manusia
d) Manusa Yadnya, yaitu upacara yang berkaitan dengan daur hidup manusia, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian.
e) Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk menjalin keharmonisan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta, seperti gunung, laut, sungai, dan sebagainya. Termasuk pula di dalamnya kehidupan yang lebih rendah dan manusia, yaitu makhluk halus, binatang dan tumbuhan.

Di samping konsep Panca Yadnya, ajaran Hindu Dharma juga mengenal konsep Tri Hita Karana, yaitu konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Upacara adalah sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan elemen-elemen yang ada di dalam Tri Hita Karana tersebut. Dalam hal ini upacara Dewa Yadnya adalah untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan; upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan manusia; sedangkan Bhuta Yadnya untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta. Dengan demikian jenisjenis upacara tradisional pada agamaagama tradisi kecil sebenarnya telah tercakup di dalam konsep Panca Yadnya dan Tri Hita Karana.

Upacara-upacara dan hari-hari besar keagamaan dalam agama-agama tradisi besar, yang sering disebut dengan hari raya, biasanya diperirtgati oleh seluruh umatnya dan berbagai suku bangsa di dunia tanpa kecuali. Di dalam agama Islam dikenal hari raya Maulud Nabi, Idul Adha, dan Idul Fitri; di dalam agama Kristen dan Katholik dikenal hari raya Natal dan Paskah; dan di dalam agama Budha dikenal hari raya Waisak. Berbeda dengan agama-agama tradisi besar lainnya, agama Hindu tidak mengenal doktrin yang menegaskan adanya hari-hari besar keagamaan yang harus diyakini dan diperingati oleh umatnya dari berbagai suku bangsa di dunia. Hari-hari besar keagamaan Hindu Dharma ditentukan sepenuhnya oleh kebijakan lokal dengan berdasarkan konsep Desa, Kala, Patra (Tempat, Waktu dan Kondisi). Dengan mengacu pada konsep Desa, Kala, Patra tersebut, maka peringatan hari-hari besar keagamaan Hindu antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya menjadi berbeda-beda, misalnya umat Hindu keturunan India mengenai hari raya Dipavali, umat Hindu Suku Bali mengenai hari raya Galungan Kuningan, dan umat Hindu Suku Tengger mengenal hari raya Kasada. Penekanan ajaran Hindu Dharma tidak ada penyeragaman hari-hari raya besar keagamaan, yang harus diakui oleh umat-umat Hindu di luar Bangsa India, tetapi pada penghayatan terhadap makna dan hakekat dan upacara-upacara tersebut, yang dalam hal ini telah dijabarkan di atas, yaitu dalam konsep panca yadnya, Tri hita karana, dan desa kala patra.

Upacara Kematian Suku Dayak Dilihat dan Sudut Pandang Agama Hindu Dharma

Di dalam ajaran Hindu Dharma, manusia dan juga benda-benda fisik lainnya di alam semesta, terdini dan lirna unsur dasar, atau yang disebut dengan Panca Maha Bhuta, yaitu unsur air, api, angin, tanah, dan akasa (hampa udara/ruang kosong). Apabila seseorang meninggal dunia, maka unsur-unsur penyusun tubuhnya kembali ke unsur-unsur dasar tersebut. Kematian Seseorang menimbulkan kewajiban bagi orang-orang yang masih hidup untuk melakukan serangkaian upacara untuk mempenlakukan jenazah, yang mana tujuannya adalah agar badan jasmaninya dapat segera dikembalikan ke unsur Panca Maha Bhuta dan atmannya dapat segera bersih dan kembali kepada Tuhan. Usaha untuk mengembalikan tubuh orang yang telah meninggal kepada unsur Panca Maha Bhuta dan atmannya dapat segera bersih dan kembali kepada Tuhan. Usaha untuk mengembalikan tubuh orang yang telah meninggal kepada unsur Panca Maha Bhuta dapat dilakukan dengan cara dikremasi (kembali ke unsun api), dikubur di dalam tanah (kembali ke unsur tanah), dilarung ke sungai atau laut (kembali ke unsun air), atau disemayamkan di atas tanah/pohon (kembali ke unsur udana). Semua jenis upacara kematian tersebut adalah benar menurut pandangan Hindu apabila Dharma dihantarkan dengan upacara-upacara untuk membersihkan arwahnya dan kekotoran perbuatannya selama di dunia, agar dapat segera kembali kepada alam Ketuhanan.

Pada Suku Dayak, arwah atau atman lelahur yang telah diupacarai dengan bersemayam di puncak-puncak pegunungan. Sebagai arwah-arwah yang telah suci dan berada di alam Tuhan, mereka dapat dipanggil kembali untuk dimintai pertolongan apabila manusia, khususnya keturunannya, menemui kesulitan-kesulitan. Dalam hal ini bukan berarti mereka tidak percaya terhadap pertolongan Tuhan. Pertolongan Tuhan akan datang melalui perantara arwah leluhur yang telah disucikan tersebut. Kepercayaan terhadap kekuatan arwah leluhur ini menimbulkan upacara-upacara pemujaan kepada arwah leluhur, yang mana di dalam ajaran agama Hindu Dharma disebut dengan Pitra Yadnya.

Para misionaris agama-agama tradisi besar pada umumnya menganggap upacara pemujaan terhadap arwah leluhur sebagai sesuatu tindakan yang tidak masuk akal dan melanggar konsep pemujaan kepada Tuhan. Oleh karena itu banyak dan para misionaris agamaagarria tradisi besar di dalam melakukan “pembinaan umat” berusaha menghapuskan jenis-jenis upacara seperti ini dan masyarakat Suku Dayak. Tindakan untuk menghapus upacara-upacara pemujaan arwah leluhur tanpa memahami makna di balik upacara tersebut, sebenamya justru akan menghapuskan satu mata rantai nilai-nilai budaya Suku Dayak, namun hal-hal seperti ini pada umumnya tidak disadari oleh para misionaris.

Kepercayaan terhadap Makhluk Halus dan Roh Penunggu pada Suku Dayak Menurut Pandangan Hindu Dharma.

Upacara “pemujaan” terhadap makhluk-makhluk halus atau roh-roh penunggu adalah termasuk di dalam jenis upacara Bhuta Yadnya. Upacara Bhuta Yadnya dalam ajaran Hindu Dharma adalah bertujuan untuk membersihkan suatu tempat beserta isinya dari kekuatan negatif yang dapat menyebabkan malapetaka bagi manusia. Upacara Bhuta Yadnya sebenarnya tidak dilandasi oleh “rasa takut” terhadap makhluk-makhluk halus dan roh-roh penunggu. Makhluk-makhluk halus dan roh-roh penunggu tersebut dihayati sebagai ciptaan Tuhan juga yang mempunyai hak untuk hidup sebagaimana halnya manusia. Oleh karena itu, apabila karena sesuatu hal manusia terpaksa mengusik kehidupan mereka, misalnya membuka hutan untuk perladangan atau menebang pohon besar untuk diambil kayunya, maka dilakukan upacara untuk “meminta maaf” karena tempat tinggalnya diusik untuk kepentingan manusia. Upacara yang dilakukan di sini bukan sebagai pemujaan terhadap makhluk-makhluk halus tersebut, melainkan sebagai wujud etika dan kasih sayang (tat twam asi) terhadap sesama hidup dan usaha mewujudkan kehidupan yang harmonis. Apabila manusia mengusik tempat tinggal mereka tanpa mengindahkan etika kehidupan bersama dan kasih sayang, maka akan menimbulkan amarah bagi makhluk-makhluk tersebut. Dengan demikian mereka ganti akan mengganggu kehidupan manusia yang tidak mengindahkan etika tersebut. Hal ini yang dilihat sebagai malapetaka atau kesialan yang dialami manusia.

Penerapan Ajaran Hindu Dharma dalam Kepercayaan Kaharingan

Konsekuensi logis dari masuknya kepercayaan Kaharingan di dalam agama Hindu Dharma adalah kewajiban bagi PHDI selaku majelis tertinggi agama Hindu Dharma untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat Dayak. Di dalam pembinaan ini mereka diperkenalkan dengan sistem pantheon (ketuhanan), hari-hari besar keagamaan, serta sarana dan prasarana upacara agama Hindu Dharma. Pada kenyataannya, yang digunakan sebagai model dengan adat dan tradisi umat Hindu Suku Bali. Persoalan menjadi muncul ketika praktik-praktik keagamaan masyarakat Dayak akhirnya mulai didominasi oleh praktek keagamaan Hindu etnis Bali, seperti pembuatan tempat ibadah yang mengacu pada bentuk-bentuk pura yang ada di Bali, sesaji yang didominasi oleh bentuk sesaji Bali, pakaian adat Bali, dan sebagainya. Sementara itu sejak dahulu masyarakat Dayak telah memiliki sistem pantheon tersendiri, tempat ibadah sendiri, dan bentuk sesaji tersendiri yang berbeda jauh dengan bentuk sesaji yang ada di Bali. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu untuk memahami bagaimana sistem pantheon, tempat ibadah, dan sesaji menurut Hindu Dharma.
a. Sistem Pantheon Hindu
Pandangan Ketuhanan di dalam Hindu tidak dapat disebut monoteisme maupun politeisme. Max Muller, Seorang peneliti Barat, menyebut pandangan Ketuhanan dalam Hindu adalah Henoteisme, yaitu kepercayaan terhadap Tuhan sebagai Yang Esa dalam Yang Banyak. Semua dewa dihayati sebagai satu wujud, yaitu sebagai Ekam (Yang Esa). Dengan pandangan ini, maka Hindu memuja satu Tuhan dalam banyak wujud. Oleh karena itu Tuhan dalam Hindu dapat disebut dengan nama dewa-dewa, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Durga, Sang Hyang Widhi, dan sebagainya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka sebenarnya tidak menjadi permasalahan bila sistem pantheon kepercayaan Kaharingan masuk di dalam ajaran Hindu Dharma, di mana Tuhan juga dapat disebut dengan nama Mahatara atau Ranying Mahatalla Langit, nama dewa tertinggi Suku Dayak.
b. Rumah Ibadah
Rumah ibadah masyarakat Suku Dayak disebut dengan Rumah Panjang atau Balai Kaharingan. Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama. Mereka suka hidup damai dalam komunitas yang harmonis, yang terwujud dalam kehidupan bersama di dalam rumah panjang. Rumah panjang menggambarkan keakraban hubungan keluarga dan masyarakat, serta memperkuat kesatuan dalam kegiatan ekonomi. Ketika kebijakan pembangunan mendorong masyarakat pedalaman untuk berubah, maka perubahan juga terjadi pada pola tempat tinggal masyarakat Dayak, dari rumah panjang sebagai tempat tinggal komunal menjadi rumah-rurnah tunggal sebagai tempat tinggal keluarga inti. Rumah panjang akhirnya ditinggalkan, yang berarti hilang pula fungsinya untuk menjalin keakraban dan memperkuat kesatuan masyarakat Dayak. Satu-satunya sarana untuk tetap dapat menjalin keakraban dan memperkuat kesatuan adalah dengan upacara-upacara adat yang dipusatkan di rumah-rumah panjang. Oleh karena itu rumah panjang menjadi bangunan yang bernilai penting bagi masyarakat Dayak. Melihat sejarah rumah panjang yang semula untuk tempat tinggal komunal dan sekarang hanya untuk kegiatan upacara maka tidak tepat apabila PHDI menerapkan konsep pura sepenti yang ada di Bali kepada masyarakat Dayak. Pemaksaan budaya untuk mendirikan pura lengkap dengan pembagian mandala-mandalanya akan semakin menghilangkan fungsi rumah panjang tersebut. Oleh karena itu dengan tetap berlandaskan pada konsep desa, kala, dan patra, maka rumah panjang sebagai bangunan tempat ibadah untuk umat Hindu Kaharingan hendaknya tetap dipertahankan.
c. Sesaji sebagai Sarana Upacara
Sesaji merupakan sarana upacara yang hampir selalu diadakan dalam upacara keagamaan Hindu Dharma. Berdasarkan lontar Yadnya Prakerti, sesaji merupakan simbol dari tiga hal, yaitu:
1) lambang diri orang atau kelompok yang menghaturkan sesaji;
2) lambang manifestasi Tuhan yang akan dipuja;
3) lambang alam semesta.

Dengan demikian sesaji juga mengandung nilai-nilai Tri Hita Karana. Sesaji juga bukan merupakan makanan untuk disuguhkan kepada Tuhan, tetapi sebagai bahasa simbol untuk menyampaikan rasa keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Tuhan.

Sebagaimana diakui oleh PHDI, sesaji sebagai sarana upacara berbedabeda dan tiap-tiap etnis. Misalnya sesaji yang ditujukan kepada Tuhan oleh orang Bali disebut dengan Daksina, terbuat dari daun lontar yang di dalamnya diisi dengan kelapa, beras, telur, bumbu dapur, dan bunga-bungaan. Sedangkan sesaji orang Dayak disebut Sakai Pulang, yang secara harfiah berarti pohon senjata. Sesaji ini merupakan rangkaian tumbuhan hasil hutan, rotan, dan senjata. Perbedaan bentuk sesaji tidaklah dipersoalkan, yang penting sesaji dapat merupakan lambang bahasa lahiriah untuk mewakili pikiran dan perasaan yang tidak mampu sepenuhnya terwakili oleh bahasa verbal. Di sini sesaji merupakan perwujudan nilai sathyam, siwam, sundaram (kebenaran, kebajikan, dan keindahan). Pemaksaan bentuk sesaji seperti bentuk sesaji Bali akan menyebabkan umat Hindu Kaharingan merasa kebudayaannya dijajah oleh kebudayaan Bali. Bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat menjiwai sesuatu bentuk sesaji versi Bali sebagaimana orang Bali menjiwai sesaji mereka sendiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penolakan sebagian umat Hindu Kaharingan untuk bergabung dengan agama Hindu Dharma lebih disebabkan oleh pemaksaan unsure-unsur budaya Bali terhadap masyarakat Dayak. Pemaksaan unsur budaya Bali tersebut meliputi pemahaman sistem pantheon, bentuk tempat ibadah, bentuk sesaji, dan lain-lain. Dan sebagaimana telah diterangkan di atas, pemaksaan unsur-unsur budaya Bali tersebut sebenarnya justru menyalahi dan ajaran Hindu Dharma.
Masalah-Masalah yang Muncul Bila Hindu Kaharingan Berdiri Sebagai Agama Tersendiri.
Kepercayaan Kaharingan pada saat ini masih tergolong dalam Agama Tradisi Kecil. Ajaran-ajaran kepercayaan Kaharingan selama ini hanya diikuti oleh sebagian masyarakat Suku Dayak. Selain Suku Dayak tidak ada suku yang menganut kepercayaan Kaharingan. Dengan kata lain ajaran kepercayaan Kaharingan pada saat ini belum dapat menembus lintas batas kebudayaan antar bangsa, sebagaimana yang diisyaratkan dalam agama-agama tradisi besar. Sebagian dari masyarakat Dayak sendiri telah memeluk salah satu agama tradisi besar, seperti Islam, Kristen, dan Khatolik; sebagian lagi dari mereka yang memeluk kepercayaan Kaharingan memilih tetap bergabung dengan Hindu Dharma. Dengan demikian hanya sebagian kecil saja dari masyarakat Dayak sendiri yang mendukung agar kepercayaan Kaharingan diangkat sebagai agama baru yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Jumlah pemeluk Hindu Kaharingan pada saat ini diperkirakan mencapai 1,4 juta jiwa yang tersebar di 4 propinsi di Kalimantan, yaitu ; Kalimantan Tengah 300 ribu jiwa, Kalimantan Timur 450 ribu jiwa, Kalimantan Barat 650 ribu jiwa, dan Kalimantan Selatan 40 ribu jiwa.

Sampai saat ini kepercayaan Kaharingan juga belum mempunyai kitab suci dan nabi/tokoh pendiri agama yang telah diakui, disahkan, dan digunakan bersama-sama oleh seluruh masyarakat Dayak. Walaupun harus diakui bahwa sebenarnya banyak tokoh Dayak yang mempunyai kearifan untuk memberikan ajaran dan kemampuan supranatural setingkat dengan nabi, tetapi tidak didokumentasikan dengan baik melalui teks-teks suci. Ajaran kepercayaan Kaharingan selama ini hanya dilakukan secara lisan dan turun-temurun. Usaha menyusun kitab suci sudah pernah dilakukan, antara lain dalam Pertemuan Adat Dayak Uud Danum di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, pada tahun 1894. Dalam pertemuan tersebut telah berhasil disusun buku pedoman hukum adat masyarakat Uud Danum, yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Panaturan atau Buku Merah karena sampulnya berwarna merah. Dengan belum adanya kitab suci dan nabi yang disahkan dan yang diakui bersama-sama dalam musyawarah adat, maka penganut kepercavaan Kaharingan akan semakin sulit bertahan terhadap misi misi agama-agama tradisi besar, yang secara agresif berupaya menarik masyarakat “yang belum beragama” ke dalam agama mereka. Apalagi sasaran misi agama-agama ini adalah generasi muda Dayak yang belum sepenuhnya mampu memahami ajaran-ajaran kepercayaan Kaharingan yang diwariskan dari orangtua mereka. Dalam kerangka berpikir generasi muda yang berkembang dewasa ini adalah bahwa agama yang berasal dari Tuhan adalah agama yang mempunyai nabi, nabi tersebut mendapatkan wahyu dari Tuhan, dan nabi tersebut kemudian menuliskan wahyu-wahyu tersebut di dalam teks suci. Dengan kerangka berpikir yang demikian tentu dengan mudah akan dibawa masuk ke agama yang dibawa oleh kaum misionaris agama-agama tradisi besar.

Berkaitan dengan penjelasan di atas akan berbeda halnya bila penganut Hindu Kaharingan tetap bergabung dalam agama Hindu Dharma. Meskipun “tidak memiliki seorang nabi yang secara dogmatis harus diakui keberadaannya oleh penganutnya”, agama Hindu Dharma tetap digolongkan ke dalam agama-agama tradisi besar. Ajaran Hindu Dharma telah menembus batas-batas kebudayaan bangsa dan diakui oleh dunia. Dengan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma, maka posisi umat Hindu Kaharingan relatif lebih aman terhadap tekanan-tekanan misionaris agama lain. Pembinaan keagamaan genenasi muda Dayak tetap dapat dilakukan dengan mengacu pada Kitab Suci Weda yang diakui secara universal oleh pemeluk Hindu di dunia. Sedangkan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan tetap dapat dilangsungkan tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Dayak. Dalam hal ini, PHDI diharapkan dapat berbertah din agar dapat memberikan pembinaan yang sesuai dengan kondisi umat Hindu Hindu Dharrna di luar Suku Bali, terutama dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. Dengan ikut melestarikan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Dayak, maka ciri khas agama Hindu Dharma yang ditandai dengan keanekaragaman pelaksanaan upacara-upacaranya pada tiap-tiap suku di Indonesia akan semakin terwujud.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan pembinaan umat Hindu Kaharingan yang ingin memisahkan diri dari agama Hindu Dharma yang pada saat ini sudah diakui secara resmi oleh pemerintah. Dengan pembinaan tersebut, mereka akan mempunyai pemahaman yang sejalan dengan sesama umat Hindu Kaharingan yang tetap menginginkan bergabung dengan agama Hindu Dharma. Di samping itu PHDI perlu berbenah diri agar tidak terjadi “pemaksaan budaya Bali” terhadap pelaksanaan upacara-upacara keagamaan umat Hindu Dharma dan suku-suku di luar Bali.

Pemerintah juga diharapkan dapat menangguhkan terlebih dahulu keinginan sebagian dari umat Hindu Kaharingan untuk memisahkan diri dari agama Hindu Dharma. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Apabila akan banyak hal-hal yang merugikan bagi umat Hindu Kaharingan itu sendiri bila telah berdiri sebagai agama tersendiri, maka permintaan sebagian umat Hindu Kaharingan tersebut terpaksa tidak dapat dipenuhi, yang mana berarti mereka tetap harus bergabung dengan agama Hindu Dharma.•

(berdasarkan sesuai dengan Tulisan dari Budiana Setiawan, Jakarta. PHDI)

KASTA DALAM AGAMA HINDU

“Saya menyukai sejarah, maka oleh sebab itu saya mempelajari sejarah, tapi bukan berarti adalah ahli sejarah atau sejarawan, karena saya hanya tertarik dan ingin mengetahui tentang sejarah yg penting sebagai penentu arah”. Nix.

Sengaja saya menyampaikan kata-kata diatas sebagai pedoman disiplin ilmu yg saya minati dengan batasan- batasan pengetahuan dan tulisan dari seseorang yang hanya menyukai dan ingin tahu tentang ilmu tersebut, yaitu sejarah. Karena kurangnya pengetahuan saya tentang Agama Hindu, jadi mungkin Wajar bila saya salah, tapi sangatlah tidak wajar bila saya tidak menanyakan dimana letak kesalahannya.

Dari diskusi dan pembicaraan beberapa hari yang lalu tentang Agama Hindu dan kaharingan yang tertuju pada satu pembahasan, yaitu mengenai “KASTA”. Beberapa mengatakan bahwa Kasta tidak pernah ada di dalam Agama Hindu, dan beberapa lagi mengatakan bahwa kasta memang ada di Agama Hindu. Memang sudah bisa didapatkan kesimpulan (sementara) bahwa kasta memang tidak ada di Agama hindu, yang ada hanyalah Caturvarna/warna seperti yang terdapat pada strata social hindu bali khususnya. Nah disini saya mulia bertanya- Tanya keras dari apa yang saya ketahui, memang ini henyalah sebuah kata yang mengandung banyak pemahaman, atau bisa saja satu tujuan. Dari berbagai buku yang saya pernah baca, seperti tentang “Agama Hindu dan Budha karya Dr.harun Widjanarko; Sejarah Nusantara; Sejarah Kerajaan- kerajaan Hindu di Indonesia; perkembangan Agama hindu dan kebudayaan hindu budha di Indonesia ( I Wayan Badrika ) bahkan pada buku Paket Sejarah SMA Kls XI terbitan Erlangga, Tulisan tentang Panaturan Kitab Suci Hindu Kaharingan ( Ngurah Nala ), Hindu Kaharingan ( Budiana Setiawan )dan lain- lain, beberapa (khususnya dalam buku ajar) ,mengatakan kata “Kasta”. Dari berbagai buku diatas saya coba rangkumkan sebagai berikut.

AGAMA HINDU

Agama Hindu merupakan Sinkretisme (percampuran) antara kepercayaan bangsa Arya dengan kepercayaan bangsa Dravida, sifatnya Polytheisme, yaitu perrcaya terhadap banyak Dewa. Tiap- tiap Dewa merupakan lambing kekuatan terhadap alam, sehingga perlu disembah atau dipuja dan atau dihirmati. Beberapa Dewa yg terkenal seperti PRATIVI sebagai Dewa bumi, SURYA sebagai Dewa matahari, VAYU sebagai Dewa angina, VARUNA sebagai Dewa laut, AGNI sebgai Dewa api.

Dalam agama Hindu diajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu penderitaan atau kesengsaraan (SAMSARA), akibat perbuatan (KARMA) yang kurang baik pada masa sebelumnya. Manusia yg dilahirkan kembali (REINKARNASI) memperoleh kesempatan untuk memperbaiki diri, sehingga pada kelahiran berikutnya dapat dilahirkan ke dalam “KASTA” yg lebih tinggi. Sebaliknya jika berbuat jahat ia akan dilahirkan kembali dlam “KASTA” yg lebih rendah atau dilhirkan menjadi binatang.

Seseorang yg telah sempurna hidupnya dapat mencapai MOKSA, yaitu lepas dari SAMSARA, atau meninggal tanpa meninggalkan jasmaninya. Mereka yg telah mencapai moksa, tdk dilahirkn kembali, tp tinggal abadi di NIRWANA (surga).

Disamping kitab WEDA juga dikenal kitab BRAHMANA dan kitab UPANISAD. Kitab Brahmana merupakan tafsir kitab WEDA, sedangkan kitab UPANISAD berisi ajaran tentang cara- cara menghindarkan diri dari samsara.

Sekitar abad ke-6 SM, Agama Hindu mengalami kemunduran, yg disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Kaum Brahmana yang memonopoli upacara keagamaan membuat sebagian dari mereka bertindak sewenang- wenang, seperti memastikan banyaknya korban yang harus diberikan seseorang, sehingga menimbulkan beban berat bagi rakyat kecil. Mereka merasa berkuasa atas segala- galanya, karena “KASTA”nya merupakan “KASTA” yang tertinggi. Hal- hal seperti itu dapat menimbulkan rasa anti agama.
2. Timbulnya golongan yang berusaha mencari jalan sendiri untuk mencapai hidup abadi yang sejati. Golongan ini disebut golongan BUDDHA yang dihimpun oleh Sidharta.

Penyiaran Agama Hindu di Indonesia

Proses masuknya agama Hindu di Indonesia dibawa oleh pedagang, baik pedagang india yang dating ke Indonesia maupun pedagang Indonesia yang dating ke india. Akan tetapi di lain pihak terdapat beberapa teory yg berbeda tentang penyebaran agama Hindu di indonesia, diantaranya :
- Teori Sudra , menyatakan bahwa penyebaran agama hindu ke Indonesia dibawa oleh orang- orang India yang berkasta Sudra, karena mereka dianggap sebagai orang- orang buangan.
- Teory waisya, menyatakan bahwa penyebarannya dilakukan oleh orang- orang india berkasta Waisya, karena terdiri dari pedagang yg dating dan menetap di Indonesia. Bahkan, banyak diantara pedagang tersebut yang menikah dengan orang- orang Indonesia.
- Teori Ksatria, menyatakan bahwa penyebarannya dibawa oleh orang – orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan karena terjadinya kekacauan politik di India, sehingga ksatria yg kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan- kerajaan dan menyebarkan agama Hindu.
- Teori Brahmana, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu di Indonesia dilakukan oleh kaum Brahmana, kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala suku yang tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brahmana yang yg dating ke Indonesia inilah yang mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat Indonesia.
Dari keempat teori diatas, hanya teori Brahmana yang dianggap sesuai dengan bukti- bukti yang ada, bukti- bukti tersebut diantaranya :
- Agama Hindu bukan agama yang demokratis, karena urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana, sehingga hanya golongan Brahmana yang mampu dan berhak menyiarkan agama Hindu.
- Prasasti Indonesia yg pertama berbahasa sansekerta, sedangkan di india sendiri bahasa itu hanya digunakan dalam kitab Suci dan upacara keagamaan. Jadi, hanya kaum Brahmana lah yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut.

Dari hal ini, semoga tepat bila saya mencoba mengangkat nya pada forum diskusi untuk mendapatkan masukan- masukan berupa argument- argument yang bisa membantu penjelasan tulisan diatas baik mengkritik dan menguatkan pernyataan dengan alasan yang tepat.

EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK DUSUN WITU DALAM KAJIAN PASAL 18B AYAT 2 UNDANG – UNDANG DASAR 1945

Masyarakat Adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.

Prof. Soepomo, SH dalam bukunya yang berjudul Bab – bab Tentang Hukum Adat ( Terbitan PT. Pradnya Paramita Jakarta (Cetakan 17) mengatakan bahwa didalam masyarakat yang semata- mata berdasar atas lingkungan daerah dan tidak memerlukan pertalian keturunan, namun ada juga susunan masyarakat yang berdasar pada kedua faktor tersebut, yaitu lingkungan dan keturunan, yang dimana setiap orang didalamnya harus memiliki syarat sebagai berikut :
- Termasuk dalam suatu kesatuan geneologi, dan
- Harus bertempat tinggal dalam daerah persekutuan hukum.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil pengertian bahwa dimana seseorang tinggal didaerah persekutuan hukum ( hukum adat yang sama ) dan ia mempunyai pertalian hubungan darah satu dengan yang lain, serta mempunyai aturan hidup sama yang sudah ditaatinya secara turun temurun tesebut maka ia di sebut sebagai masyarakat hukum adat.
Bila melihat perkembangan masyarakat dan perubahan- perubahan social dewasa ini dengan banyak diberlakukannya hukum modern, sepertinya banyak juga terdapat kelompok – kelompok orang yang memertahankan eksistensinya sebagai masyarakat hukum adat, seperti Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah, Suku Dayak Dusun Witu khususnya. Hal ini sedikit banyak mulai dimunculkan setelah digantinya UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang melegitimasi kekuasaan yang seragam dari pusat sampai daerah , sehingga seketika gaya Pemerintahan dari Jakarta sampai pelosok pedalaman, dari sabang sampai merauke, meniru gaya jawa. Institusi adat, Kepala Adat dan Perangkat tidak lagi di akui, dengan alasan kuno dan primitive. Dilain sisi para pembuat kebijakan pada masa orde baru juga melihat bahwa bumi tempat para penduduk itu berpijak ternyata amat kaya raya. Namun pada tahun 1999 UU tersebut di ganti dengan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, karena dianggap tidak sesuai dengan cita – cita reformasi dan tuntutan demokrasi.

Setelah berakhirnya masa orde baru digantikan dengan reformasi, masyarakat – masyarakat adat yang berada dalam keterpurukan tiba- tiba seperti orang yang baru bangun terhenyak mengambil alih hak – hak mereka, seperti warisan dan kekayaan alam yang mereka anggap sebagai milik masyarakat adat, dan mungkin saja kekayaan alam tesebut seperti tanah contohnya tanpa disadari bahwa semula semenjak penjajah pergi dari bumi pertiwi ini, telah dikuasai oleh pemerintah. Bahkan ada kalanya penguasaan oleh pemerintah ini telah jatuh ketangan swasta berdasar perjanjian- perjanjian yang dibuat tanpa mengikutsertakan masyarakat itu sendiri. Dan sangat tidak menguntungkan lagi, masyarakat hukum adat tersebut tidak memiliki bukti- bukti kepemilikan yang menurut peraturan perundang- undangan modern diwajibkan pemilik harus dapat membuktikan dasar kepemilikan yang diperolehnya melalui pendaftaran tanah ( bila dalam kasus kepemilikan tanah adat ), seperti yang tertuang dalam pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 jo Pasal 6 UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria jo Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Terlepas dari hal permasalahan tentang kelegalitasan kepemilikan hak masyarakat hukum adat seperti tanah adat, keberadaan atau keeksistansian masyarakat hukum adat pun masih menjadi permasalahan, padahal didalam UU Negara Republik Indonesia telah memberikan wadah dan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat beserta hukum dan adat budayanya sendiri, namun pengakuan tersebut hanya diberikan kepada kelompok masyarakat yang benar- benar masyarakat hukum adat di Indonesia.

Dari berbagai macam UU yang berbicara tentang masyarakat hukum adat, hukum adat, lembaga adat, perda tentang kelembagaan adat, hak- hak masyarakat adat, dan lainnya, saya lebih tertarik pada dasar tujuan UU tesebut dibuat, yaitu tentang masyarakat hukum adat. Hal ini disebabkan banyak nya konflik- konflik saat ini yang mengatasnamakan masyarakat adat, saling menuntut, dan tidak sedikit terjadi pertumpahan darah akibat perebutan hak sebagai masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, dari apa yang diperebutkan tersebut, siapakah yang benar- benar berhak mendapatkannya ? masyarakat hukum adat ? lalu siapakah yang “benar- benar” masyarakat hukum adat tersebut ? adakah syarat- syarat yang menjelaskan tentang kelegalitasan pengakuan atas masyarakat hukum adat yang benar- benar berhak untuk hak adatnya? Yang ditakutkan dari hal ini bila banyak yang mengakui tanpa ada penjelasan tentang kelegalitasan hal tersebut maka aka ada yang mempergunakan ke hal- hal yang tidak bertanggung jawab.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba untuk mencari tahu dalam penelitian kelegalitasan tentang masyarakat hukum adat menggunakan kajian dari materi muatan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dari hal ini, pada umumnya secara normative bisa ditarik menjadi 4 unsur yang harus diperhatikan sebagai “syarat” eksistensinya masyarakat hukum adat di Indonesia, khususnya disini adalah masyarakat adat dayak dusun witu di kecamatan dusun selatan, kabupaten barito selatan Provinsi Kalimantan Tengah.

Alasan saya memilih pada kelompok masyarakat hukum adat suku dayak dusun witu Kalimantan tengah adalah karena pertama saya asli dari suku dayak dusun witu, hal ini memberikan kemudahan dalam melakukan penelitian saya ini yang saya beri judul EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK DUSUN WITU DALAM KAJIAN PASAL 18B AYAT 2 UNDANG – UNDANG DASAR 1945, sedikit banyaknya saya tahu tentang apa yang ada dalam kelompok masyarakat ini. Hal ini sangat penting untuk di lakukan, mengingat begitu banyak juga hak- hak adat yang seharusnya dimiliki kelompok masyarakat ini namun terkesan di halang- halangi karena kelegalitasan keberadaan masyarakat hukum adat ini yang sesuai dengan UU pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 tentang pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat yang didalam nya terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk dapat di akui sebagai masyarakat hukum adat, khususnya terhadap suku dayak dusun witu. Syarat- syarat tersebut telah tertuang didalam ayat tersebut dan secara normatif di ambil menjadi empat unsur yang menjadi ketentuan syarat tersebut, yaitu “ Sepanjang Hidup “, “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”, “Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dan “Yang Diatur dalam Undang- Undang”.

Beberapa hal yang perlu dipertanyakan untuk mendapatkan data tentang kelayakan suku dayak dusun witu untuk disebut sebagai masyarakat hukum adat sesuai dengan UU pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 yang di tarik menjadi 4 unsur, yaitu :

1. Sepanjang masih hidup
Ada di kalangan kelompok masyarakat yang tidak mampu mempertahankan kehidupannya, sebagai akibat dari keterpurukan hidup lalu mereka mencari kehidupan di tempat- tempat atau lingkungan daerah tempat lain, sehingga ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian darah. Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya selama ini, lama kelamaan menjadi pudar, akhirnya hilang sama sekali. Sedangkan daerah atau territorial yang menjadi salah satu syarat adanya hukum adat bagi suatu masyarakat, tidak mungkin mengikuti migrasi anggotanya setiap kali dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik.
Pertanyaannya, apakah suku dayak dusun witu yang ada di kecamatan dusun selatan kabupaten barito selatan propinsi Kalimantan tengah sampai sekarang masih sanggup dan bisa mempertahankan eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam persekutuan hukum adat dalam suatu wilayah tertentu, dimana para anggotanya tetap di ikat dengan pertalian darah yang kuat ? hal ini dapat dilihat dari hukum adat nya, dan ritual- ritual adat yang rutin dilakukannya.

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Persyaratan ini tentunya mengandung arti bahwa hal- hal yang menjadi ketentuan- ketentuan tradisionalnya tidak boleh bertentangan dengan kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pengaruh global. Yang dimaksudkan disini adalah semacam pengaruh isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat Universal. Hal ini dapat dinilai dari jenis hukum adat dan ritual adat tradisional suku dayak dusun witu apakah melanggar atau tidaknya dengan Hak Asasi Manusia, seperti contohnya mungkin masih ditemukannya system kasta didalam lapisan masyarakat, ada budak, ada bangsawan, dll. Atau disaat melakukan ritual adat apakah menggunakan upacara pengorbanan yang menggunakan binatang, atau manusia.

3. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Syarat ini sudah selayaknya dan harus dimiliki setiap masyarakat hukum adat. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut benar- benar murni suatu perwujudan dari ketentuan- ketentuan atau kebiasaan- kebiasaan tradisional yang telah secara turun temurun dilaksanakan. Jadi jangan sampai mewujudkan ketentuan- ketentuan modern yang terkontaminasi kehidupan politik modern. Jadi singkatnya, apakah hukum yang berlaku di dalam masyarakat adat dayak dusun witu tidak bertentangan dengan hukum yang diberlakukan bagi seluruh wilayah Indonesia dan benar asli ?

4. Yang diatur dalam Undang – Undang
Selain di amanatkan oleh UUD 1945 pasal 18B yang selajutnya sudah dijabarkan dalam peraturan perundang- undangan yang lain. Seperti dalam UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi. Dalam ketentuan UU tersebut, antara lain diatur bahwa masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 51 ayat 1 huruf b UU No. 24 tahun 2003. Dan masyarakat hukum adat yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah konstitusi dan disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat bagi Mahkamah Konstitusi adalah apakah sudah memiliki nama masyarakat hukum adat sebagai sebutannya? Lokasi ? batas- batas wilayahnya ? lembaga kepemimpinan ? serta alamat pucuk pimpinan masyarakat hukum adat ?