Senin, 27 Februari 2012

Presiden Didesak Selamatkan Situs Muarajambi

Sejumlah ahli arkeologi dan aktivis budaya mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelamatkan kawasan Percandian Muarajambi di Provinsi Jambi, yang terancam rusak akibat industri batubara dan sawit. Sebagai sebuah peninggalan budaya dari masa Sriwijaya, Muarajambi memiliki nilai penting yang mengungkap peran Nusantara dalam peradaban global, terutama dalam edukasi.

Menurut ahli arkeologi, Junus Satrio Atmodjo, kawasan percandian Muarojambi pernah menjadi pusat pendidikan agama Buddha, selain Nalanda di India. Sebagai bagian dari jalur maritime silk road, kawasan ini pun memiliki peran penting di bidang perdagangan dan diplomasi.

"Ini menjadi bukti, situs ini pernah menjadi bagian dari peradaban global. Pada masanya sudah sangat maju," kata Junus Satrio, 9 Februari 2011.

Sejumlah sisa bangunan dan struktur bangunan juga memperlihatkan kebesaran situs ini. Tersebar di sepanjang sungai Batanghari, kawasan percandian seluas 2.612 hektar ini memperlihatkan tingkat keahlian di bidang arsitektur bangunan, juga lanskap permukiman.

"Ini monumental works. Sejumlah bangunan-bangunan terlihat megah di masa itu ketika kita susuri sungai Batanghari," ucap arkeolog senior, Moendardjito.

Namun, situs yang juga dianggap sebagai universitas tertua di dunia ini kini terancam oleh industri. Setidaknya ada enam perusahaan stockpile batubara, satu perusahaan Crude Palm Oil, dan 1 perkebunan sawit mengancam kelestarian situs ini.

"Ini bahaya, karena batubara tidak bisa diresap tanah," ucap Junus. Tak hanya itu, Junus juga mengungkap salah satu tembok bangunan pernah dibuldozer, akibat kepentingan industri.

Terancamnya kawasan percandian Muarojambi dinilai sebuah ironi, sebab saat Badan PBB UNESCO meninjau kawasan ini, UNESCO menilai Muarojambi layak untuk dijadikan World Heritage.

Karena itu, menurut Mundardjito, perlu dilakukan perlindungan fisik dan perlindungan hukum terhadap situs ini. "Tidak hanya bangunan, tapi juga keseluruhan kawasan," ucapnya.

Karena itu, petisi pun dilayangkan oleh aktivis budaya kepada Presiden, mendesak penyelamatan situs ini. Apalagi, Presiden SBY pernah menjadikan Muarojambi sebagai kawasan wisata sejarah terpadu, pada 22 September 2011 silam.

Petisi menuntut SBY untuk mengukuhkan kawasan percandian Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional yang dilindungi UU Cagar Budaya no 11 tahun 2010 dan  menetapkan kawasan ini sama sebagai Kawasan Strategik Nasional berdasarkan UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Tak hanya itu, sejumlah perusahaan yang beroperasi di situs itu pun didesak untuk segera menghentikan aktivitasnya, karena mengancam kelestarian situs. Ini perlu dilakukan agar kawasan ini bisa masuk sebagai World Cultural Heritage oleh UNESCO.

Sejumlah aktivis budaya yang ikut menandatangani petisi ini antara lain penyanyi Trie Utami, penulis Ayu Utami, , analis Lin Che Wei, juga arsitek Marco Kusumawijaya.  (eh)

Studi: Kelainan Otak Penyebab Ketergantungan Obat

Para ilmuan di Universitas Cambridge mengatakan, kelainan pada otak membuat beberapa orang lebih cenderung menjadi pencandu narkotika. Penelitian menemukan adanya perbedaan di otak pencandu dan saudara kandung mereka yang tidak memiliki masalah ketergantungan obat.

Sejumlah pakar mengatakan, saudara kandung yang tidak kecanduan obat bisa membantu proses penyembuhan ketergantungan narkotika melalui "pengendalian diri." Hasil riset ini menguatkan temuan sebelumnya bahwa otak pencandu narkotika berbeda dari otak 'normal'. Namun, saat itu para ahli belum mengetahui secara pasti apakah narkotika mengubah sistem otak atau apakah otak pencandu memang sudah berbeda dari awal.

Dalam studi kali ini, tim Universitas Cambridge membandingkan otak 50 pencandu kokain dengan otak saudara-saudara kandung mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan narkotika. Baik pencandu dan saudara mereka yang bukan pencandu memiliki kelainan yang sama di sistem fronto-striatal yang mengendalikan perilaku.

Kesimpulan dari temuan ini adalah otak mereka secara genetis memang sudah "diatur" untuk mendorong kecenderungan ketergantungan narkotika. Ketua tim peneliti Dr Karen Ersche mengatakan pada BBC, "Penelitian ini menunjukkan kecanduan obat bukan pilihan gaya hidup, tapi lebih pada gangguan otak dan kita harus menyadari hal ini."

Sedangkan saudara-saudara kandung si pencandu tidak memiliki masalah ketergantungan obat karena "mereka dapat mengendalikan diri dalam kehidupan sehari-hari," kata Dr Karen Ersche.

Dr Paul Keedwell, psikiater konsultan di Universitas Cardiff mengatakan, "Kecanduan, seperti banyak gangguan psikiatris lainnya, adalah akibat dari sifat bawaan dan pola pengasuhan. Kita harus mengikuti perkembangan hidup seseorang selama beberapa waktu untuk menghitung risiko relatif antara sifat bawaan dan pengasuhan."

Tetapi ada teori lain yang mengatakan, ada kemungkinan kesamaan otak pencandu dan saudara-saudaranya bukan sekadar genetik, tapi karena mereka dibesarkan di keluarga yang sama. Meski demikian, banyak spesialis meyakini temuan ini membuka peluang baru penyembuhan ketergantungan obat.

"Jika kita bisa mengetahui apa yang membuat otak saudara kandung para pencandu menjadi sangat kuat melawan godaan narkotika, kita bisa mencegah banyak orang menjadi pencandu," kata Dr. Keedwell. (BBC/DOR)

Belanda Kembalikan Manuskrip Tua Gorontalo

Jurnal Po-Noewa yang pernah terbit pada 1932 pulang kampung. Salah satu manuskrip tua Gorontalo ini lama tersimpan di perpustakaan KITLV Leiden, Belanda.

Manuskrip tua ini menjadi jejak literasi penting dan penanda persemaian intelektualitas kaum terpelajar di Gorontalo. Adalah Basri Amin, seorang peneliti sekaligus dewan redaksi Jurnal Kebudayaan Tanggomo, yang tengah menempuh studi doktoral di negeri kincir angin itu, yang membawa pulang Po-Noewa pada Senin (20/2).

Basri Amin menjelaskan, Jurnal Po-Noewa yang terbit delapan edisi antara November 1932 hingga Juni 1933 itu, merupakan dokumen penting yang perlu digali kembali. Po-Noewa, menjadi media persemaian intelektualitas dan toleransi terhadap perbedaan pendapat, untuk menciptakan persatuan demi kemajuan melalui saling pengertian antara kaum tua dan muda.

Dalam Po-Noewa, dikupas dan disajikan berbagai tema karya-karya tokoh besar dari berbagai bangsa di dunia, Victor Hugo, Shakespeare, Rembrandt, Raden Saleh, Bethoven dan Mozart. Kemudian topik mengenai sistem irigasi dan pertanian, pendidikan rakyat, kesehatan, budaya pesta, lingkungan hingga ke ranah agama, tarikat-tarikat dan para auliya di bumi Gorontalo.

Pemulangan manuskrip Jurnal Po-Noewa sebanyak delapan jilid tersebut atas prakarsa dan difasiliitasi oleh salah seorang sesepuh Gorontalo di Jakarta, Razif Halik Uno, yang juga merupakan ayah dari pengusaha muda nasional, Sandiaga Uno.

Hutan Purba Ditemukan di China

Para peneliti tengah menggali sebuah hutan purba di kawasan China utara yang terawetkan setelah terkubur abu selama sekitar 300 juta tahun.

Kalangan ahli menganggap temuan hutan purba di sekitar Distrik Wuda, dekat wilayah Mongolia itu, mirip temuan Kota Pompeii di Italia, yang juga terawetkan setelah terpendam abu vulkanis Gunung Vesuvius.

Karena terawetkan nyaris sempurna, para peneliti mengklaim kelak dapat mengetahui dan memetakan pepohonan dan tanaman di kawasan hutan rawa-rawa seluas hampir satu kilometer persegi itu.

Dari hasil penggalian sementara di tiga lokasi para ahli menyatakan, hutan rawa-rawa purba ini terkubur abu dalam volume yang begitu besar.

Meskipun sebagian pepohonan dan tanaman rusak akibat abu, sebagian justru terawetkan dan masih utuh. "Ini terawetkan secara luar biasa," kata peneliti Hermann Pfefferkorn dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat.

"Ini mirip Pompei," kata Pfefferkorn. "Pompeii memberi kita wawasan mendalam tentang budaya Romawi, tetapi tidak mengatakan apa-apa tentang sejarah Romawi itu sendiri."

Sebaliknya, menurut Pfefferkorn, temuan hutan rawa-rawa di China ini dapat mengungkap banyak hal. "Ini adalah kapsul waktu, karena memungkinkan kita dapat mengetahui lebih baik, sebelum atau sesudah tertutup abu."

"Di lokasi itu, kita menemukan ranting, dan setelah kita lacak lagi, ada dahan, sehingga akhirnya kita mampu melacak pohonnya... Ini benar-benar menarik," jelas Pfefferkorn.

Sejauh іnі, tim peneliti tеlаh mengidentifikasi enam kelompok pepohonan. Di antaranya ada pepohonan jenis pakis setinggi sekitar 25 meter, yakni Sigillaria dаn Cordaites, yang telah punah. Hutan rawa-rawa purba terletak di kawasan utara China.

Mereka juga menemukan kelompok pepohonan berukuran besar, Noeggerathiales, уаng juga punah. Contoh tumbuhan dаn pepohon yang ditemukan nyaris ѕаmа ketika terjadi erupsi sekitar 300 juta tahun silam.

Jika Kota Pompeii terkubur pada 79 Masehi, hutan rawa-rawa terpendam lebih tua, yaitu selama sekitar 300 juta tаhυn selama periode Permian. Selama periode ini, yaitu antara 299-251 juta tаhυn lаlυ, berbagai benua masih tergabung dаlаm satu daratan lυаѕ уаng dinamakan Pangaea.

Pаdа zaman іnі јυgа ditemukan binatang, yaitu jenis mamalia, kura-kura, lepidosaurs, dаn archosaurs. Dari hasil penelitian tingkat awal, tim peneliti mencoba menggambarkan situasi hutan rawa-rawa purban itu sebelum terkubur abu. (BBC/DOR)

Jumat, 24 Februari 2012

7 Kampung Wisata Siap Dikembangkan di Tahun 2012

Tujuh kampung wisata bakal terealisasi di Kota Yogyakarta pada 2012 ini. Selain menjadi objek wisata alternatif, kampung wisata ini turut melestarikan budaya Jawa serta peninggalan sejarah yang terkandung di dalamnya.

Tujuh kampung ini adalah Pandeyan, Notoprajan, Suryatmajan, Brontokusuman, Tamansari, Prenggan, dan Sosromenduran. Kepala Seksi Pengembangan Objek Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Bysrie Romli menjelaskan, ada sejumlah gejala yang menunjukkan bahwa wisatawan mulai menginginkan objek wisata di Yogyakarta selain Keraton Yogyakarta.

"Banyak wisatawan yang sudah melakukan penelusuran di kampung-kampung yang berada di Yogyakarta untuk melihat kehidupan sosial mereka," kata Bysrie di Yogyakarta, Selasa (21/2).

Ia mengatakan,beberapa kampung-kampung di Yogyakarta memiliki banyak potensi atau icon khusus. Potensi ini di antaranya kebudayaan, kerajinan, serta sosial. Lewat potensi-potensi inilah, kata Bysrie, selain menjadi daya tarik bagi wisatawan juga ajang pembelajaran bagi mereka khususnya budaya Jawa.

"Kampung wisata ini baru digalakkan tahun 2011 lalu yakni sebanyak lima kampung. Telah terbukti,dengan kampung tersebut wisatawan memiliki alternatif tujuan wisata ketika di Yogyakarta," tambahnya.

Untuk pengembangan, pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat tengah menyiapkan sumber dayanya. Mengingat untuk merealisasikan sebuah kampung wisata,bukan hal yang mudah.

Penggiat Kampung Wisata Dipowinatan Sigit Istiarto mengatakan, semenjak kampungnya ditunjuk menjadi kampung wisata urban tourism khususnya icon perkampungan Eropa Timur, banyak wisatawan dari negara tersebut mengunjungi kampungnya.

Mereka diperkenalkan dengan budaya Jawa seperti perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat. "Biasanya mereka akan tinggal di rumah penduduk untuk mempelajari kehidupan mereka. Kegiatan ini jarang dilakukan di objek wisata lainnya, dan ini adalah hal yang menarik bagi mereka," kata Sigit.

Ia mengaku bahwa pencanangan kampung wisata ini sangat berdampak positif pada pengembangan pariwisata di Yogyakarta. Selain meningkatkan kunjungan pariwisata, kampung wisata ini juga mengajak masyarakat untuk melestarikan kebudayaan Jawa dan menjaga alam sekitarnya.

"Masyarakat di kampung ini mulai sadar menjaga kebersihan lingkungan dan merawat benda-benda bersejarah di sana. Ini adalah pemberdayaan masyarakat yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan mereka," tambahnya.

Planet Baru Dipastikan Memiliki Air

GJ1214b, kelas planet baru yang ditemukan pertama kali pada 2009 diketahui memiliki air, dan para ilmuwan menjulukinya sebagai Waterworld. Planet tersebut beratmosfir tebal, beruap, dan sangat panas. Ukurannya lebih kecil dari Uranus tapi lebih besar dari Bumi.

Zachory Berta dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA) beserta rekan-rekannya melihat keberadaan Waterworld dengan teleskop Hubble milik NASA. "GJ1214b tidak seperti planet yang kita ketahui selama ini," kata Zachory. "Planet ini punya banyak air."

Para ilmuwan memperkirakan diameter 'Waterworld' mencapai 2,7 kali diameter Bumi dan bobotnya hampir tujuh kalinya. Tidak seperti Bumi yang mengorbit pada matahari sekali setahun, Waterworld mengorbit pada bintang red-dwarf setiap 38 jam. Planet GJ1214b berjarak 1,3 juta mil (sekitar dua juta km) dari bintang red-dwarf, yang artinya temperaturnya sangat panas yaitu nyaris mencapai 450 derajat Fahrenheit (sekitar 232 derajat celsius).

Penemuan Waterworld merupakan hasil dari MEarth Project yang dikepalai oleh David Charbonneau dari CfA. David dan timnya pertama kali menyampaikan hasil studi berjudul "A super-Earth transiting a nearby low-mass star" pada 2009.

Pada 2010, ilmuwan CfA Jacob Bead dan rekan-rekannya menyatakan bahwa mereka telah meneliti atmosfer 'Waterworld', dan melaporkan bahwa planet tersebut kemungkinan terbuat dari air. Akan tetapi ada kemungkinan lain --yaitu planet tersebut berselubung kabut, seperti yang menyelubungi bulan milik Saturnus, Titan.

Untuk memastikannya, Zachory dan rekan-rekannya menggunakan Wild Field Camera 3 (WFC3) dari teleskop Hubble untuk mengamati planet saat melintas di depan bintangnya. Cahaya bintang difilter melalui atmosfer planet, sehingga memberi petunjuk terkait komposisi gas yang dimilikinya.

Para ilmuwan lebih condong dengan pernyataan bahwa atmosfir planet tersebut dipadati uap air, bukan kabut. Perhitungan kepadatan planet juga menunjukkan bahwa GJ1214b punya lebih banyak air dibanding Bumi. Ini artinya struktur internalnya sangat berbeda dibanding Bumi.

"Temperatur dan tekanan yang tinggi akan membentuk material-material eksotis seperti 'es panas' atau 'air superfluida', zat-zat yang sama sekali asing dengan keseharian kita," kata Berta.

Mengingat jaraknya yang dekat dengan Bumi, besar kemungkinan akan ada observasi lanjutan menggunakan James Webb Space Telescope, yang akan diluncurkan akhir dekade ini. Sementara itu, hasil penelitian Zachory dan rekan-rekannya ini telah diterima untuk dipublikasikan di Astrophysical Journal.

7 Penelitian Prioritas di Tahun 2012

Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta menegaskan, pada 2012 ini akan memprioritaskan pada tujuh penelitian. Tujuh penelitian ini mencakup bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, kesehatan dan obat-obatan, manajemen dan teknologi transportasi,information and communication technology (ICT), material maju, dan industri pertahanan.

"Anggaran pemerintah untuk melakukan penelitian pada tahun ini adalah 4,2 triliun," ujar Gusti saat melakukan kunjungan kerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogyakarta, Senin (6/2).

Ia melanjutkan, penelitian tentang ketahanan pangan diharapkan dapat menghasilkan produk yang membantu program diversifikasi pangan. Ia mencontohkan Batan yang sudah berhasil menghasilkan padi varietas unggul dan mengembangkan sorgum.

Penelitian ketahanan energi, katanya, mendesak dilakukan karena minyak dan gas yang makin berkurang. "Kita akan lebih fokus pada penelitian energi terbarukan seperti tenaga angin, arus laut, serta panas bumi," katanya lagi.

Sementara itu untuk kesehatan dan obat-obatan, ia mengaku perlu melakukan pengembangan lagi pada isotop - isotop. Seperti Batan yang berhasil menghasilkan isotop untuk melacak kanker sejak dini. Obat herbal pun akan dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku yang melimpah.

"Penelitian menyangkut manajemen dan teknologi industri penting karena Indonesia masih banyak masalah kemacetan, kecelakaan, dan masalah transportasi lainnya," tandas Gusti.

Penelitian untuk ICT sudah dimulai dengan program Kemeninfo tentang mobil kecil yang bergerak antar kecamatan. Sedangkan material maju lewat teknologi nano dan industri pertahanan akan dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan Korea Selatan untuk membuat pesawat.

Ia berharap tujuh prioritas penelitian ini dapat dilakukan oleh mitra Kemenristek dengan maksimal. Tenaga ahli sendiri di Indonesia sudah banyak. Kendati begitu, ia tak menampik bila dana penelitian masih terbatas.

Penelitian Probiotik Raih ITSF Science and Technology Award 2011

Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) kembali memberikan penghargaan ITSF di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Acara penyerahan ITSF Science and Technology Award yang ke-18 ini berlangsung di Jakarta, Kamis (9/2). Science and Technology Award 2011 dianugerahkan kepada Dr. Ir. Ingrid Surono dari Universitas Indonesia lewat penelitian sehubungan probiotik bagi kesehatan.

Ketua ITSF, Soefjan Tsauri mengatakan, "Kami merasa senang mengetahui sekarang pengertian masyarakat Indonesia akan pentingnya iptek untuk pembangungan sudah cukup maju. Kami menganggap program-program kami sebagai cara untuk lebih memajukan implementasi sains dan teknologi."

Sementara Menristek Gusti Muhammad Hatta, yang tidak hadir tetapi dibacakan sambutannya dalam kesempatan itu, menggarisbawahi bagaimana iptek berperan pada peningkatan kapabilitas sumber daya manusia.

Science and Technology Award merupakan penghargaan terhadap penerima yang telah menunjukkan pencapaian dalam bidang ilmu pengetahuan. Di samping itu, juga diberikan Science Education Award terhadap para pendidik di sekolah menengah umum untuk kontribusi mereka dalam pengajaran yang inovatif di bidang pelajaran sains (fisika, kimia, biologi) dan Science and Technology Research Grant, yakni hibah dana yang diperuntukkan pada sejumlah usulan penelitian berkualitas.

ITSF sendiri didirikan bulan Desember 1993, dengan dana abadi dari Toray Industries, Inc., Jepang. Bertujuan memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendidikan ilmu pengetahuan di Indonesia, di luar keterkaitan bisnis Toray di negara ini.

Bakteri untuk Kesehatan Manusia

Seperti dijelaskan Dr. Ingrid dalam paparan, probiotik adalah komponen bakteri hidup yang apabila dikonsumsi pada jumlah memadai, memberikan manfaat kesehatan untuk inangnya.

Namun, probiotik yang tersedia di Indonesia saat ini belum teruji efektivitasnya dan relatif mahal. Dengan kata lain, penelitian Dr. Ingrid bertujuan melakukan komersialisasi probiotik dengan strain lokal, agar mampu memenuhi kebutuhan probiotik dan membantu masyarakat melalui terapi kesehatan dengan harga terjangkau.

Ditemukanlah dua jenis mikobakteri, Lactobacillus plantarum IS-10506 dan Enterococcus faecium IS-27526 yang diisolasi dari dadih (alat tradisional fermentasi susu kerbau, dipakai di Sumatra Barat). Baik Lactobacillus plantarum IS-10506 maupun Enterococcus faecium IS-27526 mampu meningkatkan respon imun. Keduanya bertahan hidup saluran cerna dan terbukti aman bagi manusia.

"Bisa disimpulkan bahwa adanya probiotik baru yang potensial dapat menghasilkan efek positif bagi kehidupan bakteri maupun di tubuh manusia inangnya," tutur salah satu dosen di FKUI tersebut. Ia berharap suplementasi dari dua probiotik ini kemudian dapat juga dimanfaatkan sebagai pangan fungsional yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Kidung Sastra di Bumi Dewata


Nyawa naskah Nusantara mungkin terancam. Namun di satu pulau, denyutnya masih terasa dalam nadi masyarakat.
Oleh TITANIA FEBRIANTI
Foto oleh REYNOLD SUMAYKU

Setelah menghirup napas panjang, ia mulai menghidupkan isi naskah tersebut dalam nyanyian syahdu berirama lamban. Kalimat Jawa Kuno yang berasal dari turisan (torehan) kisah karya Mpu Tantular dalam lontar Kakawin Sutasoma mengalir dari mulutnya: "Ri tan somyan… teng bhumi sahana… muwah ring kadi kami… (Jika engkau tiada berbelas kasih dan memperhatikan dunia seperti kami ini…)" suaranya nyaring mendayu-dayu, menyejukkan hati dan udara yang menyengat siang itu.

Setelah dua kali mewirama atau mendendang­kan kalimat tersebut, ia mengerling ke arah Ni Nyoman Putriasa yang duduk di sisi kanannya, berhenti sejenak, kemudian tersenyum dan mengangguk. Dengan langgam puitis, Ni Nyoman Putriasa menerjemahkan kalimat itu ke dalam bahasa Bali.

Beberapa fragmen dalam lontar Kakawin Sutasoma yang digubah enam ratus tahun silam ini harus dilantunkan dalam lomba mewirama pada acara Pesta Kesenian Bali 2011 yang terselenggara setiap pertengahan tahun di Denpasar. Inilah penggalan cerita kala Sutasoma yang rupawan mendapat wejangan dari Dewi Pertiwi dalam pelariannya ke hutan karena menolak ditahbiskan oleh sang ayahanda menjadi raja.

Bagi saya, kisah Sutasoma tidak lebih dari naskah yang mengandung kalimat bhineka tunggal ika, yang tertera pada Garuda Pancasila. Namun, kini kisah itu menjadi begitu merdu di tangan masyarakat Bali. Imajinasi saya lantas melayang kembali ke ratusan tahun yang lalu, saat syair ini diciptakan dan dilantunkan secara turun-temurun, hingga saat ini.

Di tengah alunan suara seruling Bali, saya dan I Ketut Suharsana, Kepala Perpustakaan dan Museum Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Gedong Kirtya yang kini bernaung di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Buleleng, bercakap-cakap di ruang kerjanya yang dipenuhi oleh perabot kayu.

Gedong Kirtya, yang awalnya bernama Stichting Liefrinck Van der Tuuk merupakan sebuah yayasan penyimpanan lontar. Yayasan ini didirikan berdasarkan hasil Pertemuan Kintamani oleh para cendekiawan Hindia Belanda, yang dihadiri pula oleh para pinandita (pemuka agama) dan raja-raja Bali, pada 1928. Dulunya gedung ini juga diperuntukkan bagi penyimpanan hasil penerbitan berkala yang terkait dengan segala penelitian yang dilakukan di pulau dewata.
Sejak saat itu, lontar-lontar milik masyarakat giat dipinjam dan digandakan ke atas lontar baru. Hingga tahun 1987, Gedong Kirtya mampu menyalin sekitar 4.000 buah lontar dengan beragam isi.

Namun, cita-cita pendiri untuk memusatkan salinan lontar tersebut di bumi Singaraja tak berlangsung lama. Suharsana berkisah, sejak perpindahan ibu kota provinsi dari Singaraja ke Denpasar sesuai keputusan Keputusan Menteri Dalam Negeri pada 1960 karena dinilai lebih representatif sebagai cermin ibu kota, Gedong Kirtya pun mulai terseok-seok membiayai kegiatan operasionalnya.

“Tahun 1987, turunlah Surat Keputusan Gubernur yang membubarkan Yayasan Gedong Kirtya,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, datanglah kendaraan yang memboyong sebagian koleksi lontar Gedong Kirtya ke Denpasar. “Kalau ada dua lontar yang sama, ditinggal satu. Kalau hanya satu, ya dibawa,” lanjutnya. Sampai saat ini, lontar-lontar itu tersebar di perpustakaan lontar di daerah lain, salah satunya di Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar.

Pada 2007, pendokumentasian dilaksanakan terhadap naskah-naskah lontar yang tersisa. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama dengan Perpustakaan Nasional. Kala itu, ada 32 naskah lontar yang isinya sempat didokumentasikan dalam bentuk film.

Kini, memasuki ruang lontar Gedong Kirtya seperti kembali ke masa lalu: naskah-naskah lontar didekap keropak atau kotak kayu, ditata apik di atas dua buah rak cokelat tua bertingkat enam. Di rak sepanjang sekitar tiga meter itu setiap keropak memiliki keterangan di ujungnya. Satu keropak mewadahi beberapa buah lontar.

“Ruang lontar yang ada di sini kita sucikan, lontar-lontarnya juga kita sakralkan,” ujar Suharsana. Di ujung lorong rak tampak meja sesaji. “Masih banyak lontar tahun 1800-an yang ada di sini,” lanjutnya. Sementara di dekat pintu masuk, beberapa buah rak berkaca disesaki buku-buku tua dari zaman Belanda yang warnanya kuning kecokelatan.

Tak berapa lama, sekelompok turis Eropa masuk ke ruangan dan berceloteh dalam bahasa Prancis dan Jerman. Di akhir kunjungan, mereka menyodorkan nama dan tanggal kelahiran, untuk diukir dalam aksara lokal di atas lontar, berikut dewa, atau satwa hari kelahiran berdasarkan penanggalan Bali.

Sebelum pergi, saya sempat melihat tulisan yang tergantung di dinding kantor. Menurut catatan koleksi bertanggal 31 Mei 2011, jumlah buku berbahasa Belanda yang dikoleksi Gedong Kirtya: 8.490 buah. Naskah lontar yang pernah disalin: 7.211 buah (sejumlah 4.000-an naskah disalin ke dalam lontar, sisanya adalah salinan isi lontar di atas kertas ). Sesaat mata saya sempat terpaku pada jumlah lontar yang ada kini: 1.757.

Di Tanah Riau yang tersohor akan kecantikan naskah Melayu, Anna Soraya, Kepala Divisi Konservasi Perpustakaan Nasional, berniat melakukan pelestarian dan pendokumentasian naskah. Setelah melewati perjalanan panjang dan tiba di rumah penduduk, ia tercengang saat disuguhi kertas putih bertinta hitam: Lembaran fotokopi. Naskah asli berbahan dluwang (semacam kertas berbahan kulit kayu) telah dijual ke negeri tetangga, sang pemilik mengakui.

Tak hanya I Ketut Suharsana yang pilu kehilangan lontar-lontar koleksi Gedong Kirtya. Nusantara nan kaya akan ragam aksara dan naskah (karya berbentuk tulisan tangan dan berusia lebih dari setengah abad) kerap memikat negara lain. Perpindahan naskah-naskah kuno ke tangan bangsa Eropa sejak zaman penjajahan, atau naskah tua yang berleret apik di rak kaca museum negara tetangga, bukanlah cerita baru. Sementara di rumahnya sendiri, naskah yang bersolek ilustrasi warna-warni dan tulisan tangan berabad-abad usianya ini kadang tak lagi punya nilai di tangan sang empunya.

“Perdagangan naskah memang sudah ada sejak dulu. Naskah yang dijual sekarang ini sudah naskah kualitas nomor dua atau tiga dari segi isi dan keindahan ilustrasinya,” ujar Anna di ruang kantornya yang lapang. Ia juga berkisah tentang Babad Imam Bonjol yang berpindah tangan dengan nilai rupiah yang spektakuler ke negara tetangga.

Kala melakukan pelestarian dan dokumentasi, banyak suka duka yang ia lewati. Anna tak hanya menjumpai pemilik naskah yang tega merelakan naskah nenek moyangnya, tetapi juga pemilik yang amat melindungi naskahnya walau mereka tidak tahu pasti isi yang terkandung di dalamnya sehingga membuat para pelestari sulit melaksanakan tugasnya.

Para pemilik naskah juga sadar betul akan nilai ekonomis yang dikandung oleh lembaran-lembaran kuno ini di mata orang asing. Di tanah Aceh, Anna berjuang memenuhi tuntutan seorang istri almarhum pemilik pesantren yang menginginkan sebuah mesin cuci, sebagai syarat agar timnya bisa melakukan pelestarian dan pendokumentasian naskah. Namun mereka tak jua berhasil memotret isi naskah-naskah tersebut—hanya sampulnya dengan alasan mantra di dalamnya takut disalahgunakan. Beberapa bulan kemudian peneliti asing berhasil mendokumentasikan naskah-naskah tersebut.

Anna dan timnya tak sendiri dalam usahanya melestarikan atau memperbaiki naskah-naskah Nusantara. Di Palembang, mata Titik Pudjiastuti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia berbinar saat sekarung kumpulan naskah kuno yang konon berusia ratusan tahun dibawa turun dari loteng sebuah masjid dan disorongkan ke hadapannya. Saat ikatan dibuka, saat itu pula hatinya luruh. Karya yang tak terperi nilainya itu menyerpih dilahap rayap. “Akhirnya kita hanya bisa menangis,” ujarnya pilu bercampur gemas.

Di tengah upaya penyelamatan, para pelestari juga berusaha menyadarkan penduduk akan nilai warisan ini sesungguhnya. Mereka memberi edukasi mengenai perawatan naskah agar warisan leluhur ini tetap terjaga. Bahan yang dijumpai sehari-hari seperti air kapur sirih, cengkeh, lada, atau tumbukan halus arang kayu bisa mencegah ngengat dan kelembapan.

Di tanah Khatulistiwa, seiring bertambahnya usia, semakin rendah pula daya tahan sebuah naskah terhadap kelembapan juga rayap. Budaya penyalinan naskah kuno bermedia kertas semakin pupus. Maknanya pun hanya segelintir orang yang paham. Namun di Pulau Dewata, tradisi penyalinan naskah serta pemahaman isinya masih terus berlangsung hingga saat ini

Di rumahnya yang berudara sejuk di daerah Jasi, Karangasem, Bali, I Wayan Edi Wistara memamerkan sulitnya menuris di atas lontar saat ia baru mempelajarinya sekitar dua puluh tahun silam. Pengrupak atau pengutik, alat yang digunakan, dipegang dengan jari kanan hampir sama dengan cara memegang pensil, tetapi jempol kiri ikut memberikan penekanan. Kerumitan semakin bertambah mengingat lontar ini diukir pada dua sisinya.

“Penekanan harus benar agar cukup untuk menggores lontar namun tak cukup dalam untuk membuatnya berlubang,” jelas Wayan sambil menekuri lontar yang baru saja ia turisi.
Lontar yang ia kerjakan tak melulu disalinnya dari lontar lain. Kadang orang datang kepadanya untuk meminta agar bukunya disalinkan ke lembar lontar, layaknya kisah Bharatayuddha. Doa-doa dan upacara kecil dilaksanakan sebelum dan sesudah menuris lontar.

Sikap juga harus diperhatikan. “Posisi kedua tangan sejajar dengan ulu hati,” ujar Ida I Dewa Gde Catra, yang saya panggil Pak Catra, seorang penyalin lontar yang tinggal di Amlapura. Sikap tubuh juga harus tegak. “Napas juga harus diatur agar tulisan stabil, karena itulah saya beryoga. Saat menulis, lembar lontarlah yang bergerak ke arah kiri. Bukan tangan kita”, lanjutnya.

Bali yang memulai banyak catatan menggunakan lontar masih dikenang Catra yang lahir pada 1935. Pria yang tak terlihat setua umurnya ini berkisah, bahwa catatan kelahiran, jual beli tanah, serta administrasi kemasyarakatan lainnya dituris di atas lontar dengan aksara bali. “Saya alami langsung hal itu sampai dengan sebelum tahun 1950,” paparnya.

“Hampir di setiap rumah orang Bali yang beragama Hindu pasti memiliki lontar. Ini sebenarnya boleh dikatakan satu kekayaan terpendam di masyarakat,” ujar Catra yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah.

Selain menyalin, ia juga tersohor akan produksi blangko lontarnya yang awet dan bermutu tinggi. “Mulai dari proses menebang daun lontar hingga jadi, bisa memakan waktu hingga dua tahun. Memang pekerjaan yang menjemukan,” ungkapnya.

Pada 1978, enam tahun setelah ia mulai belajar menuris lontar, Catra dihadapkan pada lontar tua rapuh dari Griya Pidada yang berjarak sekitar dua kilometer dari tempatnya tinggal kini: Sebuah salinan lontar Nagarakretagama berisi kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk saat beranjangsana dari Majapahit ke Lumajang.

Naskah ini ia salin ke atas kertas, seperti apa adanya. “Jika lontarnya bolong ya saya kosongkan isinya,” kenangnya. Sekitar 13 tahun kemudian, tepatnya pada 1991, ia meleburkan diri dalam tim yang merevisi hukum guru lagu Nagarakretagama, dengan acuan catatan salinannya tersebut.

Aksara lontar ini punya tanda khusus karena menggunakan hukum wirama saat membaca. Suara Ni Luh Suyeni seolah muncul di telinga saya saat Catra memamerkan salinan lontar Nagarakretagama miliknya, kini memiliki indeks mewirama. “Jenis mewiramanya 98 kali berganti,” ujarnya bangga.

Keterampilan menuris lontar tidak hanya dimiliki oleh mereka yang terpanggil hatinya untuk menyalin isi lontar-lontar kuno. Di Desa Tenganan nan sunyi, sekitar 30 menit berkendara dari Karangasem, I Nyoman Suanda sibuk menekuri tujuh lempir lontarnya yang diikat berbaris-baris. Ia sedang mempercantik gambar barong yang terletak di bagian paling atas, dari gambar peta bali yang ia turis dengan pengrupaknya. Sesekali ia menggosok lontar tersebut dengan sebutir kecil kemiri yang berfungsi semacam tinta. Kemudian disapunya dengan jemari. Permukaan lontar pun berubah menghitam atau berwarna cokelat, memunculkan apa yang telah diturisnya.

Di mejanya yang dilapis taplak berwarna hijau itu digelar pula kalender Bali bergambar dewa-dewa yang ditemani kala. Ada yang dalam bahasa asing, ada pula yang dalam aksara Bali dengan gambar lebih rumit dan apik. Selain menekuni gambar-gambar seperti ini, Nyoman juga membuat pesanan seperti tanda mata untuk orang yang menikah di luar negeri, serta kartu nama dengan peta jalan di bagian belakang. Saya teringat, betapa Titik menekankan bahwa tradisi penulisan lontar berjalan dengan amat baik di Bali. Mereka sadar betul, tradisi ini menarik hati turis mancanegara.

para pewirama bisa menyihir saya saat menghidupkan isi lontar melalui kemerduan suara mereka. Namun, saya menemukan makna lain yang amat mendalam dalam lontar keagamaan yang membawa saya ke bagian selatan Bali. Pagi itu angin berembus kencang di pantai Goa Lawah, mendorong tubuh-tubuh yang berdiri goyah di sela debur ombak yang menghantam pantai dengan tak menentu. Seorang Sri Mpu atau pandita pemimpin upacara, sibuk mengucap mantra di atas pelataran.

Tangan kirinya sibuk menggoyang genta yang bunyi­nya menusuk telinga, mengalahkan amukan air di depan mata. Orang-orang berbusana putih duduk bersila menghadap laut lepas. Dupa-dupa yang ditancapkan di pasir hitam tak lagi tercium aromanya.

Lima buah sesaji berisi buah dan bunga berjajar rapi di atas pasir, di baris terdepan. Juga dua buah batang menjulang sekitar setengah meter yang akarnya dibalut kain putih, disebut puspa lingga, perlambang ruh orang yang telah tiada. Inilah Upakara Nuntun, yang biasanya diadakan setelah Ngaben dan Memutru, guna menuntun arwah berkeliling pura dan berpamitan kepada para leluhur.


“Nuntun adalah proses Maligya, mempersatukan roh yang lahir ke bumi untuk kembali ke asal. Proses ini mempermaklumkan seseorang yang pernah hidup, agar diampunkan kesalahannya, dan bisa kembali dengan tenang,” papar I Made Suparta dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Inilah upacara yang dihidupkan dari turisan di atas lontar Padma Buana. “Padma Buana adalah sembilan teratai di alam, yang dihubungkan dengan sembilan pura di bali. Secara simbolik biasanya upacara ini dilaksanakan dari tiga pura: pura gunung, tengah, dan laut, atau Pura Besakih, Pura Tampak Siring, dan Pura Goa Lawah,” lanjutnya.

Ni Wayan Widiastuti, dokter gigi yang bermukim di Jimbaran, adalah salah seorang pembawa puspa lingga. Selain ayah dan ibunya, upacara ini juga dipersembahkan bagi kakek dan dua orang kerabatnya.

Hari menjelang senja. Bayangan jatuh memanjang di lantai Pura Besakih. Setelah melakukan upacara selama sehari penuh di delapan buah pura, tibalah kami pada pura pengujung: Pura Penataran Agung. Di sini suara doa menyayup disapu angin di ketinggian. Keluarga yang hadir tak lagi sebanyak saat di Pura Goa Lawah. Perjalanan ini memang berat. Rombongan harus naik turun membawa sesaji yang tak ringan bobotnya ke pura-pura di lembah dan punggungan.

Suara aliran sungai yang membelah Bali Art Center Denpasar pagi itu lenyap dalam riuh lomba di area sekelilingnya. Di area Ratna Kanda, sembilan pria dan sembilan wanita remaja tingkat SMP mewakili kabupaten sedang mengalihaksarakan teks berbahasa Bali berhuruf latin ke dalam aksara Bali di atas daun lontar.

Saya sendiri tercenung di area Ayodya yang tempat duduknya bertingkat-tingkat. Berbalut busana adat berwarna putih dengan kain cokelat muda dan hiasan kepala, Ni Luh Suyeni dan Ni Nyoman Putriasa duduk bersimpuh menghadap keropak di sela asap dupa. Jantung saya berdebar saat mereka kembali mewirama dengan merdu.

Kerja keras pelantun dari Buleleng ini tak sia-sia. Mereka berhasil keluar jadi juara kedua di Pekan Kesenian Bali tahun ini. Di sini, di antara penyalin lontar, di tengah penuris belia, di hadapan pelantun wirama, tiap lempir lontar jadi sarat makna.

Turisan itu tak hanya sekadar torehan di atas daun. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang membuat naskah-naskah kuno terus hidup dan mengalir di dalam jiwa mereka yang memegang teguh budaya yang diturunkan oleh nenek moyang, sejak berabad silam.

15 Buku Kuno Misterius itu Siap Dialihbahasakan

Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah, akan mengalihbahasakan 15 buku kuno. Buku-buku berusia berusia lebih dari 50 tahun ini mereka dapat secara hibah setelah dikirim oleh seseorang tanpa nama melalui paket pada Selasa (7/2).

Tidak ada nama pengirim di kardus yang digunakan untuk membungkus buku-buku tersebut. Hanya dicantumkan alamat Museum Radya Pustaka. "Buku-buku ini dalam kondisi cukup terawat, sudah berumur lebih dari 50 tahun. Ada yang ditulis dengan huruf Jawa kuno dan ada juga yang menggunakan huruf Latin," ujar Sekretaris Komite Museum Radya Pustaka Djaka Darjata, Kamis (16/2).

Buku-buku ini sudah menggunakan sistem percetakan dan bukan ditulis tangan. Dari ke-15 buku itu, yang paling 'berharga' adalah Serat Rama yang ditulis dengan huruf Jawa kuno dan terdiri atas 508 halaman. "Serat Rama bercerita tentang dunia wayang dan segala seluk beluknya," kata Djaka lagi.

Selain Serat Rama, ada juga buku kebatinan sebanyak empat hingga lima buku yang dikarang tahun 1926. Sedangkan sisa buku lainnya menceritakan soal primbon Jawa, salah satunya juga menggunakan huruf Jawa kuno.

Buku-buku ini selanjutnya akan segera dialihbahasakan. Untuk melakukannya, pihak Radya Pustaka siap bekerja sama dengan Yayasan Sastra. "Sementara ini, buku-buku itu akan kami simpan dulu hingga ada pemilik asli yang menyatakan buku tersebut miliknya. Kalau sudah, akan ada proses administrasi dan ada berita acara," ujar Djaka yang menambahkan ke-15 buku itu sudah dipamerkan ke publik.

Selain mendapat hibah buku, Museum Radya Pustaka juga tengah bersiap memamerkan naskah-naskah kuno yang sudah di digitalisasi dalam bentuk Compact Disc (CD). Ini merupakan hasil kerjasama musem dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

"Mikrofilm naskah-naskah kuno yang sempat disusun dan ditelantarkan sudah kami susun dan perbaiki. Jika ada masyarakat yang ingin membaca naskah Babad Tanah Jawi tinggal kami pamerkan lewat CD," ujar Djaka.

Muarojambi 'Diserbu' Batubara dan Kelapa Sawit

Kawasan percandian Muarojambi mengalami masalah pelik. Keberadannya di sepanjang sungai Batanghari, Jambi, seluas 2.612 hektar saat ini ‘diserbu’ perusahaan kelapa sawit dan batubara.

Kelapa sawit yang ditumbuhkan secara masif membuat habitat hewan dan tumbuhan yang biasanya menghiasi kawasan ini mulai menghilang. “Kelapa sawit itu sifatnya monokultur, tanaman lain ditebang habis hanya boleh kelapa sawit yang hidup. Kita jadi tidak lagi melihat kancil atau betet di kawasan (Muarojambi), sedikit demi sedikit mereka menghilang,” ujar Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Junus Satrio Atmodjo dalam acara diskusi 'Ancaman Perusakan Situs Muarojambi' yang berlangsung di Jakarta, Kamis (9/2).

Sedangkan perusahaan batubara menebar ancaman yang lebih serius lagi karena menimbulkan masalah kesehatan dan merusak kawasan percandian Muarojambi. Dikatakan Junus, jika batubara mengeluarkan gas metana yang mudah terbakar. Hasil bakaran ini akan menjadi pecahan kecil yang bisa terbang ke segala arah, termasuk ke arah situs percandian Muarojambi.

“Selain meracuni penapasan manusia, dia (batubara) juga akan tertimbun di kawasan yang kita lindungi. Sifat batu bara itu tidak bisa diserap oleh tanah, lama-lama kawasan ini akan rusak, tidak bisa lagi bercocok tanam, tanahnya rusak,” ujarnya lagi.

(Salah satu kegiatan penumpukan batubara di kawasan Muarojambi, Jambi)

Kawasan Percandian Muarajambi merupakan peninggalan kebudayaan masa Hindu-Buddha di Asia pada abad 7-13 Masehi. Luasnya yang secara administratif mencakup tujuh wilayah desa, membuat Muarojambi sebagai kompleks paling luas dan terpadat tinggalan kepurbakalaannya di Indonesia.

Kompleks ini pertama kali ditemukan pada tahun 1974 melalui informasi yang disampaikan masyarakat sekitar. Ketika dipugar di tahun 1975 hingga sekarang, diperkirakan ada 80-90 candi yang ada di kompleks Muarojambi. Namun, saat ini kondisinya mulai memprihatinkan karena kondisi asam hasil penimbunan batubara merusak batu bata penopang candi-candi tersebut.

“Vandalisme oleh perusahaan batubara yang ada Muarojambi. Tumpukan batu bara (masuk ke aliran sungai) menghasilkan air yang asam, masuk ke bata melalui jaringan yang ada, jadilah dia (candi) rusak,” demikian ujar Profesor Mundardjito, guru besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).

Hingga sekarang, belum ada perlindungan dari Pemerintah Indonesia untuk kawasan Muarojambi. Surat Keputusan yang dikeluarkan Kemendagri pada tanggal 21 Oktober 2011 juga belum menetapkan Muarojambi sebagai kawasan yang dilindungi.

“Belum ada penetapan atau Surat Keputusan yang menyatakan jika Muarojambi itu kawasan. Yang dilindungi hanya bangunannya, bukan wilayahnya. Kenapa wilayahnya penting? Karena setiap penemuan butuh konteks, tiap situs butuh kawasannya,” kata Junus.

Kondisi ini membuat kumpulan masyarakat yang terdiri atas tokoh masyarakat Jambi, penulis, wartawan, vidoegrafer, seniman, bahkan ibu rumah tangga, mengajukan petisi menyelamatkan Muarojambi. Petisi tersebut ditujukan pada Presiden Republik Indonesia, Gubernur Provinsi Jambi, dan Bupati Kabupaten Muarojambi. Dalam tuntutannya, masyarakat meminta pengukuhan kawasan Muarojambi sebagai kawasan Cagar Budaya yang dilindungi UU Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010.

Situs Trowulan Majapahit: Dahulukan Kepentingan Kebudayaan

Situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur masih menyimpan begitu banyak misteri mengenai peradaban Kerajaan Majapahit. Para ahli arkeologi dan sejarah memperkirakan peradaban kerajaan berkembang sekitar 200 tahun, mulai berdiri sejak 1293 hingga runtuh sekitar tahun 1521 M.

Bagai mencari kota yang hilang, penelitian dan penggalian arkeologis terus dilakukan hingga saat ini. Menurut Mundardjito, dewan pakar National Geographic Indonesia, Kamboja memiliki peninggalan peradaban berupa Angkor Wat, Peru menyimpan Machu Picchu, Italia dengan reruntuhan Pompeii, dan Yunani terdapat Acropolis di Athena, sementara Indonesia hanya punya Trowulan yang sampai sekarang pun belum tergali sempurna.

“Penentuan batas kota dan tata kota pun masih menjadi misteri. Apakah mereka menentukan batas dengan menggunakan konsep astronomi seperti pelaut. Kami juga belum dapat memastikannya,” ujar Junus Satrio Atmodjo, staf ahli Menteri Parwisata dan Ekonomi Kreatif saat kami jumpai pada Senin (23/1).

Junus yang juga Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia menegaskan bahwa Kota Majapahit mengedepankan konsep mandala. Artinya, raja yang berkedudukan di sana memiliki dua makna: mewakili dunia supranatural dan melakukan pengaturan di dunia.

Di sisi lain, Junus juga menyebutkan bahwa Trowulan mendapatkan tekanan sejak tahun 1990-an. Masyarakat melakukan tindakan destruktif lantaran desakan kebutuhan hidup. Sedikitnya ada 5.000 keluarga yang menggantungkan hidup pada industri batu bata, yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit. Tindakan destruktif sebagian masyarakat berjalan terus-menerus dan semakin meluas.

Itu sebabnya, untuk menyelamatkan situs Majapahit, Junus mengatakan bahwa kepentingan kebudayaan harus menjadi konsep terdepan. “Kita harus tanggung jawab kepada masyarakat sekitar dan negara. Kita melakukan penelitian pada lokasi yang pemiliknya adalah masyarakat sekitar,” ujar Junus.

Dengan menempatkan konteks kebudayaan pada situs Majapahit, kita akan dapat melihat bagaimana proses budaya yang terjadi di kerajaan itu. Hal ini lah yang kerap terlupakan oleh para pemangku kepentingan. “Pariwisata itu hanyalah pilihan, tetapi kepentingan kebudayaan adalah kewajiban.”

Beberapa tahun silam, polemik mengenai pembangunan proyek Pusat Informasi Majapahit sempat mengemuka. Para ahli arkeologi menyatakan keberatan atas pembangunan proyek yang menjadi bagian dari rencana besar membangun Majapahit Park. Lantaran terkesan dipaksakan dan dilaksanakan tidak melalui prosedur yang seharusnya

Solo Beri Label Khusus untuk Benda Cagar Budaya

Pemerintah Kota Solo mulai menempelkan label khusus pada bangunan atau kawasan yang ditetapkan menjdi Benda Cagar Budaya (BCB).

Penempelan label ini telah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Solo Nomor 646/116/1/1997. Menurut Kepala Bidang Konservasi dan Pengawasan cagar Budaya Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Mutfi Raharjo ada 54 BCB yang ditempeli label. Sedangkan bangunana lain masih dalam tahap inventarisasi dari Tim Kajian Cagar Budaya.

Ia menjelaskan penempelan label ini menggunakan bahan tembaga berdesain artistik yang disertai dengan penerbitan sertifikat yang menyebutkan bahwa sebuah bangunan masuk dalam BCB.

Salah satu anggota Tim Kajian Cagar Budaya, Sudharmono SU menjelaskan, pelabelan sebaiknya diikuti dengan pemberian insentif pada pemilik BCB, yakni berupa keringanan atau pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan, serta bantuan teknis jika pemilik hendak melakukan renovasi. "Dengan cara demikian, upaya penyelamatan BCB akan efektif," papar Mutfi.

Ia pun menambahkan, ketika sebuah bangunan atau kawasan dikategorikan BCB, maka akan dibarengi dengan peningkatan nilai ekonomis, lantaran bangunan tersebut berkategori special bahkan langka.

Stupa Kuno yang Diduga Peninggalan Kukar Ditemukan di Jawa Timur


Ditemukan stupa kuno yang diyakini merupakan peninggalan purbakala yang berasal dari zaman Kutai Kartanegara (Kukar) pada abad ke-14. Stupa dengan tinggi sekitar 0,5 meter itu ditemukan di tanah pekarangan rumah seorang warga Desa Tembarak, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Stupa ini berbentuk seperti kubah masjid dengan bahan tanah liat merah. Saat ditemukan kondisi stupa juga sudah kelihatan cacat, pecah, dan retak di beberapa sisi.

Menurut pernyataan salah satu perangkat desa, memang desanya dahulu sempat dihuni masyarakat di bawah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegera.

Di dekat lokasi penemuan, berjarak sekitar 500 meter, terdapat bekas situs candi pemujaan pula. Namun,situs itu sekarang telah dipindahkan oleh dinas kepurbakalaan terkait.

Meski demikian, benda temuan baru ini belum dapat terkonfirmasi sebagai benda purbakala. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nganjuk, Lies Nurhayati, yang menindaklanjuti laporan warga mengatakan, telah melakukan koordinasi mengenai temuan dengan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, Mojokerto untuk memastikannya lewat penelitian lebih dalam.


begini cerita selengkapnya :

Seorang warga Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menemukan sebuah benda berbentuk stupa berbahan tanah merah yang diduga peninggalan zaman kesultanan Kutai Kartanegara pada 1300 Masehi.

Trosenin (66), warga Desa Tembarak, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, yang menemukan benda itu, Selasa, mengemukakan, benda itu ditemukan di pekarangan depan rumahnya. ”Saya menggali tanah di depan rumah dan menemukan benda ini,” katanya.

Menurut dia, ia menemukan benda itu berawal dari sebuah mimpi. Ia bermimpi ditemui oleh seorang kakek berjenggot panjang. Dalam mimpi itu, ia diminta untuk menggali tanah.

Ia juga tidak menyangka hingga akhirnya menemukan benda mirip stupa di depan pekarangan depan rumahnya. Saat ditemukan kondisi stupa itu sudah cacat. Bagian atas dan sebagian sisi kanan sudah patah, sementara bagian kiri juga pecah.

Stupa yang ditemukan Trosenin ini unik. Bentuknya seperti kubah masjid dengan tinggi sekitar 0,5 meter dengan diameter sekitar 10 sentimeter. Bahan baku dari benda itu adalah tanah liat berwarna merah dengan motif batik.

Sementara itu, salah seorang perangkat desa, Sumanto, mengatakan bahwa di desanya dulu sempat dihuni masyarakat dari pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegera, sekitar tahun 1300 Masehi atau pada abad ke -14.

Hal itu terbukti dengan adanya sebuah situs berupa Candi Pemujaa yang terletak sekitar 500 meter dari tempat penemuan stupa. Candi pemujaan itu saat ini sudah dipindahkan oleh dinas terkait ke museum Anjuk Ladang, Nganjuk. Bahkan, situs candi pemujaan tersebut masih terlihat bekas bangunannya.

Namun, ia mengaku belum mengetahui dengan pasti stupa yang ditemukan oleh salah seorang warganya tersebut adalah benda purbakala atau bukan. Pihaknya akan melaporkan temuan ini ke Dinas Pariwisata Kabupaten Nganjuk untuk penelitian lebih lanjut.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nganjuk Lies Nurhayati mengatakan, untuk temuan itu sudah dikoordinasikan dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, Mojokerto.

”Penemuan itu sudah ditangani oleh BP3 Trowulan dan sudah menjadi kewenangannya. Kalau kami hanya menunggu saja,” jelasnya.

Ia juga menyebut, temuan itu kemungkinan adalah laporan yang dilaporkan sejak tujuh tahun lalu. Namun, untuk kepastiannya pihaknya akan menerjunkan tim ke lokasi.

Undang-undang Cagar Budaya Masih Mandul

Perusakan kawasan situs bersejarah di Indonesia sulit diatasi karena Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya masih mandul. Sudah hampir dua tahun belum ada peraturan Pemerintah yang ditandatangani Presiden untuk menjalankan undang-undang tersebut.

Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti, Selasa (14/2), rancangan peraturan Pemerintah (RPP) tersebut masih dibahas di DPR."Saya dengar sudah hampir selesai. Mudah-mudahan tahun ini RPP sudah bisa selesai semuanya," kata Wiendu.

Undang-undang Cagar Budaya yang diterbitkan tahun lalu itu menggantikan UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan upaya pelestarian situs budaya. Dalam UU No 5/1992 tersebut dinyatakan, yang dianggap sebagai cagar budaya hanyalah bendanya.

Artinya, lingkungan atau kawasan benda bersejarah itu berada tidak dianggap sebagai cagar budaya sehingga seringkali luput dari upaya perlindungan. Dengan UU baru yang diterbitkan tahun 2010, lingkungan situs termasuk kawasan cagar budaya yang dilindungi.

Konteks Sejarah

Guru Besar luar biasa Departemen Arkeologi Universitas Indonesia Moendardjito mengatakan, kawasan situs bersejarah perlu dilindungi dan kerusakan agar para ahli arkeologi bisa meneliti konteks sejarah dari hasil temuannya. "Kalau lingkungan temuannya sudah rusak, tinggal bendanya saja, tidak akan ada artinya apa-apa. Untuk 'menerjemahkan' hasil temuan, perlu ada konteks dengan lingkungannya," kata Moendardjito.

Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang Hubungan Antarlembaga, yang juga arkeolog konservasi, Junus Satrio Atmodjo, mengungkapkan, masih ada tiga RPP terkait dengan cagar buadaya yang belum selesai dibahas DPR, yakni tentang RPP museum, perlindungan, dan register nasional cagar budaya.

Menurut UU Administrasi Negara, kata Junus, PP sudah harus diterbitkan paling lambat satu tahun setelah UU No 11/2010 diterbitkan. "Penerbitan PP sudah harus selesai pada tahun 2012 dan segera diserahkan kepada Presiden untuk disahkan," ujarnya.

UU Cagar Budaya yang baru tersebut, menurut Janus, lebih lengkap dibandingkan dengan UU lama. UU tersebut merinci cagar budaya sebagai benda, bangunan, situs, struktur, kawasan. Di dalam UU juga diatur tentang zonasi dalam kawasan cagar budaya.

Sanksi yang diterapkan dalam UU Cagar Budaya ini juga menganut hukuman minimal. Sanksi minimal ini dianggap bisa memberikan efek jera bagi mereka yang melanggar ketentuan. Masyarakat yang berada di sekuat kawasan situs juga dilindungi oleh UU Cagar Budaya.

(Sumber: Kompas)

Bali Jadi Tuan Rumah World Culture Forum 2013

Penyelenggaraan World Culture Forum (WCF) pada tahun 2013 akan berlangsung di Bali. Dalam WCF nanti, tokoh dan pemimpin dunia akan berdiskusi mengenai strategi dalam kebudayaan khususnya terkait perdamaian, pelestarian, pembangunan, dan globalisasi.

Humas WCF,Irawati, menjelaskan kedudukan Indonesia sebagai penyelenggara WCF akan menorehkan sejarah monumental yang mengangkat posisi dan peran strategis bagi Indonesia. Khususnya di bidang pembangunan kebudayaan di tingkat dunia.

"Even ini mengangkat nama Indonesia dalam peta dunia sebagai negara yang memiliki komitmen dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan dunia," paparnya dalam keterangan persnya, Senin (13/2)

Ditambahkannya, bagi masyarakat pelaku budaya, WCF akan memberikan tempat dan peluang untuk mengangkat kekayaan budaya Indonesia di mata internasional. Kekayaaan budaya Indonesia juga memiliki nilai-nilai universal.

Dalam acara WCF tersebut juga akan diadakan festival film budaya dengan menampilkan film-film dari berbagai negara khususnya yang bertema kebudayaan.

Sebelum diadakannya WCF 2013, panitia mengadakan WISDOM 2010, World Conference on Culture, Education and Science : 'Local Wisdom, Global Solution', di Universitas Gadjah Mada, pada 5-8 Desember, 2010. Selain itu juga diadakan Bali World Culture Forum 2011, Tri Kaya Parisudha: Morality and Ethics in New Global Culture, pada 11-16 Juni, 2011. (KR)

Meminda Koleksi Museum Nasional


Sejumlah orang berjubah laboratorium putih lengkap dengan masker hijau tengah merawat koleksi miniatur rumah adat Dayak dengan sabar. Kondisi koleksi sudah rapuh dan sangat kering. Mereka mengangkat debu dengan menyikat sisi atapnya dengan hati-hati, lalu menyekanya dengan kain putih. Sebagian lagi mengencangkan atau memperbaiki dinding rumah adat Batak Toba yang miring atau terlepas. Para "dokter museum" itu bekerja di antara himpitan rak-rak yang memajang pusparagam pusaka miniatur rumah adat Nusantara.

"Kami secara berkala selalu memonitor kondisi lingkungan koleksi tersebut," ungkap Ita Yulita seorang staf konservasi Museum Nasional Jakarta, "Namun, kami juga melakukan tindakan segera dan darurat, seperti kasus perbaikan rumah adat ini karena kondisinya sangat parah."

Museum Nasional memiliki 125 koleksi miniatur rumah adat yang terbuat dari kayu, bambu, rotan,ijuk, dan alang-alang. Miniatur itu dibuat dengan cermat dan mirip dengan aslinya–lengkap dengan pagar, tangga, bentuk jendela, dan dekorasi adat. Koleksi ini tampaknya sudah menghuni museum ini sejak awal abad ke-20 sehingga pusaka nan renta itu harus dirawat dari penyebab kerusakan seperti debu, temperatur, kelembapan, serangga, dan rayap.

Semestinya ada latar belakang pendidikan khusus untuk keahlian tim pelestari di Indonesia. Namun, menurut Yulita hingga kini konservasi baru sebagai mata kuliah di jurusan arkeologi, atau peminatan pada program studi. Selama ini timnya memperoleh pengalaman konservasi dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan di dalam negeri, maupun luar negeri. "Sebenarnya apabila orang tahu, kerja di museum ini menarik. Orang lihat sepertinya cuman dibersihin saja, tetapi sebenarnya ilmu untuk itu ada," kata Yulita meyakinkan.

Museum Nasional mempunyai ikatan dengan lembaga-lembaga konservasi luar negeri seperti organisasi antarpemerintah dengan keahlian yang telah diakui dalam pelatihan, pengembangan kapasitas, dan jaringan kerja. Sebagai contoh, COLLASIA (Pelestarian Pusparagam Pusaka di Asia Tenggara), ICCROM (Pusat Studi Pelestarian Kekayaan Budaya), dan SEAMEO-SPAFA (Pusat Regional untuk Arkeologi dan Seni Rupa). "Saat ini saya sedang belajar iklim mikro lemari pajang," ungkap Yulita soal aplikasi pelatihan dari COLLASIA, "perihal pengaturan kelembapan dan temperatur, dan bagaimana mengatasinya."

Koleksi museum yang paling terancam karena temperatur dan kelembapan adalah kayu, kertas, dan tekstil. Untuk mengatasi masalah ini Yulita belajar bagaimana cara membuat perbandingan cermat antara luas ruang pajang dengan gel silika yang digunakan. "Apabila kebanyakan akan membuat kering ruang pajang sehingga memudahkan koleksi remuk atau patah. Sebaliknya, apabila kekurangan akan menyebabkan kondisi ruang pajang menjadi lembap."

"Kita selalu menjaga kagiatan konservasi untuk setiap objeknya itu unik," ungkapnya, "Kondisi alat dan bahan terbatas itu juga membuat kita untuk berkreatifitas dalam konservasi." Ibarat dokter, tim pelestari tidak mempunyai satu resep yang manjur untuk semua penyakit. Semangatnya, menurut Yulita, adalah melestarikan, sedangkan pelaksanaannya dilihat dari kasus kerusakan, jenis benda, dan materialnya.

Salah satu pengalaman paling berkesan bagi Yulita sebagai pelestari adalah ketika melakukan konservasi Pedang Gaja Dumpak milik Sisingamangaraja XII yang telah menjadi koleksi museum sejak 1907. Suasana berjalan seperti biasa hingga beberapa orang yang mengaku keturunan Raja Tapanuli itu tiba di ruangan konservasi dengan hasrat menyaksikan pedang leluhurnya. "Mereka menangis melihat pedang itu sambil bersenandung lagu batak dengan lirih," kenang Yulita, "Kami ikut terharu bangga, ternyata kami juga bisa menolong mereka seperti mempertemukan keluarganya yang hilang."

Seni Tari Indonesia Sulit Berkolaborasi

Seniman tari Indonesia memiliki kemampuan profesional untuk tampil di kancah seni pertunjukan tari profesional. Meski demikian, upaya para seniman untuk menembus panggung pentas di luar negeri kurang mendapat dukungan infrastruktur.

Selain itu, seniman tari dari luar negeri juga sulit berkolaborasi dengan penari Indonesia karena mereka tidak tahu ke mana harus mencari penari tersebut.

Persoalan yang dihadapi dunia tari di Indonesia itu dibahas dalam Seminar Tari Kontemporer di Erasmus Huis, Kamis (2/2). Seminar dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan Indonesia Dance Festival (IDF) 2012. Tahun ini, IDF diselenggarakan pada 1-9 Juni di Kompleks Taman Ismail Marzuki dan Institut Kesenian Jakarta.

Penari dan kritikus tari, Sal Murgiyanto, yang menjadi pembicara dalam seminar tersebut, mengatakan, pendidikan kesenian di Indonesia mengadopsi model konservatori yang lebih menekankan pelatihan teknik untuk menyiapkan calon seniman yang terampil dan siap naik pentas.

Di Amerika Serikat, misalnya, konservatori selalu dilengkapi dengan kelompok tari profesional. Sebagai contoh, Boston Consevatory memiliki Boston Ballet. "Di Indonesia, sekolah menengah dan perguruan tinggi tari tak dilengkapi dengan kelompok tari profesional," kata Sal Murgiyanto. Akibatnya, para penari di Indonesia kurang mampu bersaing di luar negeri.

Rektor Institut Kesenian Jakarta Wagiyono Sunarto secara terpisah mengatakan, minimnya jumlah Insitut Seni di Indonesia menyulitkan seniman luar negeri yang ingin bekerja sama dengan seniman Indonesia. "Seniman asing tidak tahu harus mencari kemana untuk mendapatkan seniman tari yang bisa diajak berkolaborasi," ujarnya. (Sumber: Kompas)

Djiwo Diharjo, Pelestari Pusaka Keris Jawa



Djiwo Diharjo (77), warga Dusun Banyusumurup, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta, tak menyangka bakal mendapatkan penghargaan upakarti dari Presiden Susilo Bambang Susilo Yudoyono, pada 5 Januari 2012 lalu, di Istana Negara.

Penghargaan untuk para pembuat keris ini diterimanya sebagai bentuk ucapan terima kasih dalam hal pelestarian budaya bangsa. "Saya sangat bangga bisa turut melestarikan pusaka Jawa ini. Hingga kapanpun, menjadi Empu keris akan tetap saya lakoni," ujarnya di Imogiri Bantul, Rabu (1/2).

Djiwo menjadi empu keris sejak tahun 1952. Kemampuannya ini diturunkan langsung oleh Empu Supondriyo dari Kerajaan Majapahit. Djiwo yang menjadi keturunan ke-19 dari Empu Supondriyo ini, mengatakan bahwa membuat keris merupakan pekerjaan wajib yang harus dilakoni sebagai bentuk menghormati budaya leluhur.

"Karena itu adalah tanggungjawab, saya pun menjadi pelopor berdirinya desa keris di Banyusumurup ini. Dan saat ini, saya sudah bisa menurunkan seni membuat keris pada puluhan perajin," tambahnya.

Untuk membuat keris, lanjutnya, butuh waktu yang lama. Kurang lebih tujuh bulan, hanya mampu menghasilkan satu buah keris. Harganya pun relatif mahal, mulai dari Rp700.000 hingga jutaan rupiah.

Keris buatan Djiwo ini digandrungi oleh banyak kalangan. Bahkan, kerisnya pun sudah melalang ke luar negeri seperti Prancis dan Belanda. "Kalau keris buatan saya berbeda dengan keris perajin lain. Di desa keris ini, hanya yang saya yang menjadi keturunan Empu Majapahit. Perajin lain hanya bisa sampai membuat aksesorisnya."

Ia berharap budaya pembuatan keris ini akan terus ada hingga generasi mendatang dan menjunjung budaya Indonesia di mata dunia.

Ketua Pramuka Dunia Siap Dukung Kearifan Lokal Indonesia

Ketua Pramuka Dunia, Raja Carl XVI Gustaf dari Swedia akan berkunjung ke Bantul, Yogyakarta, Rabu (1/2). Rencananya, Raja Carl akan memberikan hibah untuk mendukung kearifan lokal di sana seperti karawitan, membatik, serta tatah sungging (industri kerajinan kulit).

Ketua Kwartir cabang (Kwarcab) Bantul, Drs. HM EB Nurcahyo menjelaskan, kedatangan Raja Carl ini dalam rangka meresmikan pendapa di Desa Wukirsari,Imogiri,Bantul. Peresmian pendapa ini adalah wujud hibah sebesar Rp300 juta yang digunakan untuk mendukung kearifan lokal di sana. Nantinya, pendapa tersebut digunakan untuk pelatihan-pelatihan pada masyarakat.

"Bantul terpilih karena dianggap mampu mengembangkan kearifan lokal dengan baik yakni kerajinan tatah sungging, batik dan karawitan," kata Nurcahyo di Yogyakarta, Senin (30/1).

Ke depan, ujar Nurcahyo lagi, kegiatan kemasyarakatan Desa Wukirsari akan dijadikan percontohan dalam rangka membentuk budaya hidup modern yang tetap berpedoman pada kearifan lokal. Kegiatan masyarakat di sana diharapkan dapat pula menumbuhkan jiwa kewirausahaan.

Sementara itu, kunjungan Raja Carl merupakan sinyal baik juga untuk mengembangkan kepramukaan di Bantul. Kedatangannya ke Tanah Air lantaran Indonesia memiliki 20 ribu pramuka. Di Bantul pula, Raja Carl akan melihat kehidupan sehari-hari masyarat serta kegiatan kepramukaan di sana.

Selain ke Bantul Raja carl juga akan berkunjung pula ke Candi Borobudur serta kunjungan kehormatan ke Gubernur DIY Sri Sultan HB X selaku Ketua Majelis Pembimbing Daerah

Museum Majapahit Gelar Program Rutin Belajar Jawa Kuno

Bertempat di pelataran Musem Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, secara rutin diadakan pengajaran aksara Jawa kuna (kuno).

Komunitas belajar ini dibentuk oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan atas dasar keprihatinan terhadap rendahnya minat masyarakat terhadap budaya aksara Jawa kuna. Tidak dipungut bayaran apa pun untuk pembelajaran ini.

Bahasa Jawa kuna digunakan untuk membaca penanda yang dapat ditemukan pada candi dan benda purbakala. Terutama pada peninggalan kerajaan Majapahit. Pertemuan pada setiap Sabtu dalam minggu pertama dan ketiga ini fokus mengkaji berbagai bahasa Jawa kuna yang pernah populer pada abad ke empat hingga ke-16, yaitu abjad Pallawa, Sansekerta, hingga Jawa baru.

Selain itu, ada juga yang belajar simbol-simbol yang kerap dijumpai pada bebatuan peninggalan kerajaan Majapahit. Diksi aksentuasi juga turut dipelajari. Dengan demikian diharapkan para generasi muda dapat terlibat membaca makna simbol-simbol, meneliti, dan mempelajari temuan benda purbakala.

Menurut seorang relawan pengajar Rakai Hino, sudah menjadi kewajiban untuk melestarikan kebudayaan ini. Bahasa Jawa kuna atau hipnugraf tidak sulit untuk dipahami, namun dibutuhkan ketelitian dan ketekunan. Jika tidak diajarkan, tentu akan punah tergerus zaman. Padahal, aksara dan bahasa ini justru dipelajari di negara Belanda.

Lokasi pelajaran di dalam museum memudahkan peserta mempraktikkan ilmu yang dipelajari. Biasanya usai mendapat materi, para peserta kursus langsung melihat benda-benda purbakala dan membaca simbol-simbolnya.

Wayang Kaya Unsur Budaya Universal

Wayang ternyata kaya dengan unsur - unsur budaya universal. Unsur budaya universal melekat dalam wujud ide atau kepengetahuan, sosial, dan fisik.

Penggiat Budaya di Yayasan Kertagama Jakarta, Sri Tedy Rusdy menjelaskan, wayang mengandung tujuh isi universal yakni sistem religi, sosial, pengetahuan, ekonomi, bahasa, seni, dan teknologi.

Sistem religi dalam wayang,lanjutnya, membentang sejak sistem religi animisme-dinamisme,fetisisme,tata alam sakral, Hindu,hingga Islam. "Bahkan sistem religi ini bisa mengatasi konsepsi-konsepsi agama," papar Sri dalam seminar dan pagelaran Wayang Purwa di Yogyakarta, Rabu(25/1)

Ia melanjutkan, sistem sosial dalam wayang terepresentasikan dalam sistem tata pemerintahan dan sistem tata masyarakat. Kemampuan dalang dalam memanfaatkan peluang sangat potensial untuk wahana kesadaran masyarakat dalam memaknai demokrasi, egalitarianisme, dan isu-isu terkini.

Wayang pun, katanya lagi, mengajarkan masyarakat untuk menguasai pengetahuan dan teknologi. "Kita bisa melihat cerita Gatot Koco yang bisa terbang, Antareja yang masuk bumi,dan lainnya," tambah Sri.

Bahkan, isu gender dalam pendistribusian sistem mata pencaharian pun juga terinspirasi oleh tokoh Srikandi, Drupadi, dan tokoh perempuan lainnya. Sementara itu kaitannya dengan unsur bahasa, wayang pun menggunakan bahasa multilingual. Ada bahasa Jawa kuno, Jawa baru, bahkan bahasa asing.

Mengingat wayang kaya akan unsur budaya universal, maka wayang mampu mengatasi persoalan global saat ini. Wayang pun dilestarikan karena telah diresmikan UNESCO pada tahun 2003 sebagai warisan dunia. "Wayang sebagai sumber inspirasi kearifan lokal di tengah budaya kontemporer," tutup Sri.

Kerajaan Melayu Kuno Sumatra Diduga Lebih Tua Daripada Sriwijaya

Prasasti Melayu Kuno tidak banyak diungkap. Padahal beberapa kalangan pakar dari bidang sejarah, arkeologi, maupun etnografi linguistik, menduga Kerajaan Melayu Kuno di Sumatra adalah kerajaan yang lebih tua daripada Sriwijaya, di awal-awal abad tujuh Masehi.

"Logikanya, prasasti Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu Kuno," tutur Dr. Ninie Susanti Y., ahli efigrafi dari Fakultas Ilmu Budaya UI dalam ceramah umum arkeologi yang bertajuk 'Menelisik Prasasti Melayu Kuno' bersama Masyarakat Arkeologi Indonesia di Museum Tengah Kebun, Jakarta Selatan, Selasa (7/2).

Berita tertua mengenai Melayu Kuno didapatkan dari berita Dinasti Tang di China, yang menulis kedatangan utusan dari Mo-lo-yeu (dibaca Melayu), tercatat pada tahun 644 dan 645.

Gambaran mengenai Melayu Kuno selalu tak terpisahkan dengan Sriwijaya. Menurut Ninie, ketika bicara Melayu tidak mungkin mengesampingkan peninggalan Kerajaan Sriwijaya pula. Keduanya merupakan kerajaan maritim yang sibuk dengan aktivitas perdagangan sehingga tidak meninggalkan prasasti-prasasti sebanyak kerajaan di Jawa.

"Mungkin benar kerajaan ini sudah sangat tua. Namun memang bukti-bukti yang sahih belum kita temukan," ujarnya. Tinjauan prasasti memang merupakan bukti paling otentik untuk mengungkap sejarah. Prasasti pun akan bercerita mengenai banyak hal. Makin banyak prasasti terdata, makin banyak sejarah yang dapat terungkap.

Meski demikian, bahkan sebagai seorang efigraf, Ninie mengakui, ia tidak bisa bertumpu pada prasasti-prasasti saja. Pendekatan baru ditemukan, mempergunakan data bantu dari bidang ilmu linguistik.

Persebaran bahasa Melayu Kuno ada di berbagai daerah di Pulau Sumatra, Jawa, hingga seluruh wilayah Nusantara. Juga di Semenanjung Malaya, Filipina, dan Thailand.

Tetapi berdasarkan penelitian leksikostatistik (mempelajari asal-usul suatu bahasa) oleh Prof. Harimurti Kridalaksana, dikaji serta disimpulkan bahwa muasal bahasa Melayu Kuno dari Sumatra. Sebab di Sumatra-lah, dialek regional bahasa Melayu terbanyak ditemukan.

Karena itu, Ninie berharap lahan penelitian sejarah Melayu Kuno yang masih terbuka lebar ini bisa ditekuni. Ia mengistilahkan, penelitian harus bersifat 'keroyokan' dari segala disiplin terkait, tak hanya dari satu sisi atau berjalan masing-masing.

"Saya masih mempunyai keyakinan. Belum tentu sejarah Melayu (Kuno) itu gelap. Mungkin hanya belum ada penelitian mendalam, penelitian tentang Melayu Kuno harus lebih digencarkan," tambahnya.

Kecanggihan TIK Dapat Lindungi Pengetahuan Tradisional

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia diharapkan dapat melindungi pengetahuan tradisional. Dengan demikian kecanggihan TIK tidak mengancam pengetahuan tradisional yang berkembang di masyarakat.

Hal ini ditegaskan Kepala Lembaga Sandi Negara, Mayjen Djoko Setiadi di Universitas Gadjah Mada Yogya. Djoko menjelaskan pemanfaatan TIK di masyarakat luas bukan semata menyangkut persoalan teknis, tapi erat kaitannya dengan aspek sosial budaya masyarakat.

Ia pun menyayangkan, pemanfaatan TIK untuk pelestarian pengetahuan tradisional ini masih terbatas dilakukan. Padahal kemajuan TIK justru dapat memberi dukungan pelestarian nilai-nilai tradisional.

"Seperti di Yogyakarta, pemanfaatan TIK yang terbatas bisa-bisa mengancam pengetahuan tradisional yang beragam dan menarik," katanya.

Masyarakat sebagai pelaku hendaknya menyadari bahwa perkembangan TIK hendaknya diiringi perubahan arah perkembangan kebudayaan masyarakat ke arah informasi berbasis pengetahuan. Selain itu, masyarakat secara mental kultural siap menerima hadirnya sistem atau teknologi baru sehingga tidak memunculkan keterkejutan budaya (culture shock).

Senin, 13 Februari 2012

5 IKRAR BARISAN PERTAHANAN MASYARAKAT ADAT DAYAK


1. BARISAN PERTAHANAN MASYARAKAT ADAT DAYAK (BPMAD) SETIA DAN TAAT KEPADA PANCASILA DAN UNDANG - UNDANG DASAR (UUD) 1945, BHINEKA TUNGGAL IKA DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI).
2. BARISAN PERTAHANAN MASYARAKAT ADAT DAYAK (BPMAD)MENJUNJUNG TINGGI DAN MENGAWAL FALSAFAH HIDUP HUMA BETANG SERTA MEMPERTAHANKAN HARKAT MARTABAT DAN HAK - HAK MASYARAKAT ADAT.
3. BARISAN PERTAHANAN MASYARAKAT ADAT DAYAK (BPMAD)MEMPERJUANGKAN DAN MENINGKATKAN TARAF HIDUP UNTUK MENCAPAI KEMAKMURAN MASYARAKAT ADAT.
4. BARISAN PERTAHANAN MASYARAKAT ADAT DAYAK (BPMAD)IKUT MENGANTISIPASI DAN MENDUKUNG APARAT KEAMANAN DALAM MENGANTISIPASI GANGGUAN KEAMANAN DI DAERAH PERBATASAN.
5. BARISAN PERTAHANAN MASYARAKAT ADAT DAYAK (BPMAD)MENDUKUNG PELAKSANAAN TUGAS DAMANG KEPALA ADAT DALAM MENEGAKAN HUKUM ADAT DAN MASYARAKAT ADAT KALIMANTAN TENGAH.