Prasasti Melayu Kuno tidak banyak diungkap. Padahal beberapa kalangan pakar dari bidang sejarah, arkeologi, maupun etnografi linguistik, menduga Kerajaan Melayu Kuno di Sumatra adalah kerajaan yang lebih tua daripada Sriwijaya, di awal-awal abad tujuh Masehi.
"Logikanya, prasasti Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu Kuno," tutur Dr. Ninie Susanti Y., ahli efigrafi dari Fakultas Ilmu Budaya UI dalam ceramah umum arkeologi yang bertajuk 'Menelisik Prasasti Melayu Kuno' bersama Masyarakat Arkeologi Indonesia di Museum Tengah Kebun, Jakarta Selatan, Selasa (7/2).
Berita tertua mengenai Melayu Kuno didapatkan dari berita Dinasti Tang di China, yang menulis kedatangan utusan dari Mo-lo-yeu (dibaca Melayu), tercatat pada tahun 644 dan 645.
Gambaran mengenai Melayu Kuno selalu tak terpisahkan dengan Sriwijaya. Menurut Ninie, ketika bicara Melayu tidak mungkin mengesampingkan peninggalan Kerajaan Sriwijaya pula. Keduanya merupakan kerajaan maritim yang sibuk dengan aktivitas perdagangan sehingga tidak meninggalkan prasasti-prasasti sebanyak kerajaan di Jawa.
"Mungkin benar kerajaan ini sudah sangat tua. Namun memang bukti-bukti yang sahih belum kita temukan," ujarnya. Tinjauan prasasti memang merupakan bukti paling otentik untuk mengungkap sejarah. Prasasti pun akan bercerita mengenai banyak hal. Makin banyak prasasti terdata, makin banyak sejarah yang dapat terungkap.
Meski demikian, bahkan sebagai seorang efigraf, Ninie mengakui, ia tidak bisa bertumpu pada prasasti-prasasti saja. Pendekatan baru ditemukan, mempergunakan data bantu dari bidang ilmu linguistik.
Persebaran bahasa Melayu Kuno ada di berbagai daerah di Pulau Sumatra, Jawa, hingga seluruh wilayah Nusantara. Juga di Semenanjung Malaya, Filipina, dan Thailand.
Tetapi berdasarkan penelitian leksikostatistik (mempelajari asal-usul suatu bahasa) oleh Prof. Harimurti Kridalaksana, dikaji serta disimpulkan bahwa muasal bahasa Melayu Kuno dari Sumatra. Sebab di Sumatra-lah, dialek regional bahasa Melayu terbanyak ditemukan.
Karena itu, Ninie berharap lahan penelitian sejarah Melayu Kuno yang masih terbuka lebar ini bisa ditekuni. Ia mengistilahkan, penelitian harus bersifat 'keroyokan' dari segala disiplin terkait, tak hanya dari satu sisi atau berjalan masing-masing.
"Saya masih mempunyai keyakinan. Belum tentu sejarah Melayu (Kuno) itu gelap. Mungkin hanya belum ada penelitian mendalam, penelitian tentang Melayu Kuno harus lebih digencarkan," tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar