Kawasan percandian Muarojambi mengalami masalah pelik. Keberadannya di sepanjang sungai Batanghari, Jambi, seluas 2.612 hektar saat ini ‘diserbu’ perusahaan kelapa sawit dan batubara.
Kelapa sawit yang ditumbuhkan secara masif membuat habitat hewan dan tumbuhan yang biasanya menghiasi kawasan ini mulai menghilang. “Kelapa sawit itu sifatnya monokultur, tanaman lain ditebang habis hanya boleh kelapa sawit yang hidup. Kita jadi tidak lagi melihat kancil atau betet di kawasan (Muarojambi), sedikit demi sedikit mereka menghilang,” ujar Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Junus Satrio Atmodjo dalam acara diskusi 'Ancaman Perusakan Situs Muarojambi' yang berlangsung di Jakarta, Kamis (9/2).
Sedangkan perusahaan batubara menebar ancaman yang lebih serius lagi karena menimbulkan masalah kesehatan dan merusak kawasan percandian Muarojambi. Dikatakan Junus, jika batubara mengeluarkan gas metana yang mudah terbakar. Hasil bakaran ini akan menjadi pecahan kecil yang bisa terbang ke segala arah, termasuk ke arah situs percandian Muarojambi.
“Selain meracuni penapasan manusia, dia (batubara) juga akan tertimbun di kawasan yang kita lindungi. Sifat batu bara itu tidak bisa diserap oleh tanah, lama-lama kawasan ini akan rusak, tidak bisa lagi bercocok tanam, tanahnya rusak,” ujarnya lagi.
(Salah satu kegiatan penumpukan batubara di kawasan Muarojambi, Jambi)
Kawasan Percandian Muarajambi merupakan peninggalan kebudayaan masa Hindu-Buddha di Asia pada abad 7-13 Masehi. Luasnya yang secara administratif mencakup tujuh wilayah desa, membuat Muarojambi sebagai kompleks paling luas dan terpadat tinggalan kepurbakalaannya di Indonesia.
Kompleks ini pertama kali ditemukan pada tahun 1974 melalui informasi yang disampaikan masyarakat sekitar. Ketika dipugar di tahun 1975 hingga sekarang, diperkirakan ada 80-90 candi yang ada di kompleks Muarojambi. Namun, saat ini kondisinya mulai memprihatinkan karena kondisi asam hasil penimbunan batubara merusak batu bata penopang candi-candi tersebut.
“Vandalisme oleh perusahaan batubara yang ada Muarojambi. Tumpukan batu bara (masuk ke aliran sungai) menghasilkan air yang asam, masuk ke bata melalui jaringan yang ada, jadilah dia (candi) rusak,” demikian ujar Profesor Mundardjito, guru besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).
Hingga sekarang, belum ada perlindungan dari Pemerintah Indonesia untuk kawasan Muarojambi. Surat Keputusan yang dikeluarkan Kemendagri pada tanggal 21 Oktober 2011 juga belum menetapkan Muarojambi sebagai kawasan yang dilindungi.
“Belum ada penetapan atau Surat Keputusan yang menyatakan jika Muarojambi itu kawasan. Yang dilindungi hanya bangunannya, bukan wilayahnya. Kenapa wilayahnya penting? Karena setiap penemuan butuh konteks, tiap situs butuh kawasannya,” kata Junus.
Kondisi ini membuat kumpulan masyarakat yang terdiri atas tokoh masyarakat Jambi, penulis, wartawan, vidoegrafer, seniman, bahkan ibu rumah tangga, mengajukan petisi menyelamatkan Muarojambi. Petisi tersebut ditujukan pada Presiden Republik Indonesia, Gubernur Provinsi Jambi, dan Bupati Kabupaten Muarojambi. Dalam tuntutannya, masyarakat meminta pengukuhan kawasan Muarojambi sebagai kawasan Cagar Budaya yang dilindungi UU Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar