Minggu, 20 November 2011

EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK DUSUN WITU DALAM KAJIAN PASAL 18B AYAT 2 UNDANG – UNDANG DASAR 1945

Masyarakat Adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.

Prof. Soepomo, SH dalam bukunya yang berjudul Bab – bab Tentang Hukum Adat ( Terbitan PT. Pradnya Paramita Jakarta (Cetakan 17) mengatakan bahwa didalam masyarakat yang semata- mata berdasar atas lingkungan daerah dan tidak memerlukan pertalian keturunan, namun ada juga susunan masyarakat yang berdasar pada kedua faktor tersebut, yaitu lingkungan dan keturunan, yang dimana setiap orang didalamnya harus memiliki syarat sebagai berikut :
- Termasuk dalam suatu kesatuan geneologi, dan
- Harus bertempat tinggal dalam daerah persekutuan hukum.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil pengertian bahwa dimana seseorang tinggal didaerah persekutuan hukum ( hukum adat yang sama ) dan ia mempunyai pertalian hubungan darah satu dengan yang lain, serta mempunyai aturan hidup sama yang sudah ditaatinya secara turun temurun tesebut maka ia di sebut sebagai masyarakat hukum adat.
Bila melihat perkembangan masyarakat dan perubahan- perubahan social dewasa ini dengan banyak diberlakukannya hukum modern, sepertinya banyak juga terdapat kelompok – kelompok orang yang memertahankan eksistensinya sebagai masyarakat hukum adat, seperti Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah, Suku Dayak Dusun Witu khususnya. Hal ini sedikit banyak mulai dimunculkan setelah digantinya UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang melegitimasi kekuasaan yang seragam dari pusat sampai daerah , sehingga seketika gaya Pemerintahan dari Jakarta sampai pelosok pedalaman, dari sabang sampai merauke, meniru gaya jawa. Institusi adat, Kepala Adat dan Perangkat tidak lagi di akui, dengan alasan kuno dan primitive. Dilain sisi para pembuat kebijakan pada masa orde baru juga melihat bahwa bumi tempat para penduduk itu berpijak ternyata amat kaya raya. Namun pada tahun 1999 UU tersebut di ganti dengan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, karena dianggap tidak sesuai dengan cita – cita reformasi dan tuntutan demokrasi.

Setelah berakhirnya masa orde baru digantikan dengan reformasi, masyarakat – masyarakat adat yang berada dalam keterpurukan tiba- tiba seperti orang yang baru bangun terhenyak mengambil alih hak – hak mereka, seperti warisan dan kekayaan alam yang mereka anggap sebagai milik masyarakat adat, dan mungkin saja kekayaan alam tesebut seperti tanah contohnya tanpa disadari bahwa semula semenjak penjajah pergi dari bumi pertiwi ini, telah dikuasai oleh pemerintah. Bahkan ada kalanya penguasaan oleh pemerintah ini telah jatuh ketangan swasta berdasar perjanjian- perjanjian yang dibuat tanpa mengikutsertakan masyarakat itu sendiri. Dan sangat tidak menguntungkan lagi, masyarakat hukum adat tersebut tidak memiliki bukti- bukti kepemilikan yang menurut peraturan perundang- undangan modern diwajibkan pemilik harus dapat membuktikan dasar kepemilikan yang diperolehnya melalui pendaftaran tanah ( bila dalam kasus kepemilikan tanah adat ), seperti yang tertuang dalam pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 jo Pasal 6 UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria jo Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Terlepas dari hal permasalahan tentang kelegalitasan kepemilikan hak masyarakat hukum adat seperti tanah adat, keberadaan atau keeksistansian masyarakat hukum adat pun masih menjadi permasalahan, padahal didalam UU Negara Republik Indonesia telah memberikan wadah dan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat beserta hukum dan adat budayanya sendiri, namun pengakuan tersebut hanya diberikan kepada kelompok masyarakat yang benar- benar masyarakat hukum adat di Indonesia.

Dari berbagai macam UU yang berbicara tentang masyarakat hukum adat, hukum adat, lembaga adat, perda tentang kelembagaan adat, hak- hak masyarakat adat, dan lainnya, saya lebih tertarik pada dasar tujuan UU tesebut dibuat, yaitu tentang masyarakat hukum adat. Hal ini disebabkan banyak nya konflik- konflik saat ini yang mengatasnamakan masyarakat adat, saling menuntut, dan tidak sedikit terjadi pertumpahan darah akibat perebutan hak sebagai masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, dari apa yang diperebutkan tersebut, siapakah yang benar- benar berhak mendapatkannya ? masyarakat hukum adat ? lalu siapakah yang “benar- benar” masyarakat hukum adat tersebut ? adakah syarat- syarat yang menjelaskan tentang kelegalitasan pengakuan atas masyarakat hukum adat yang benar- benar berhak untuk hak adatnya? Yang ditakutkan dari hal ini bila banyak yang mengakui tanpa ada penjelasan tentang kelegalitasan hal tersebut maka aka ada yang mempergunakan ke hal- hal yang tidak bertanggung jawab.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba untuk mencari tahu dalam penelitian kelegalitasan tentang masyarakat hukum adat menggunakan kajian dari materi muatan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dari hal ini, pada umumnya secara normative bisa ditarik menjadi 4 unsur yang harus diperhatikan sebagai “syarat” eksistensinya masyarakat hukum adat di Indonesia, khususnya disini adalah masyarakat adat dayak dusun witu di kecamatan dusun selatan, kabupaten barito selatan Provinsi Kalimantan Tengah.

Alasan saya memilih pada kelompok masyarakat hukum adat suku dayak dusun witu Kalimantan tengah adalah karena pertama saya asli dari suku dayak dusun witu, hal ini memberikan kemudahan dalam melakukan penelitian saya ini yang saya beri judul EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK DUSUN WITU DALAM KAJIAN PASAL 18B AYAT 2 UNDANG – UNDANG DASAR 1945, sedikit banyaknya saya tahu tentang apa yang ada dalam kelompok masyarakat ini. Hal ini sangat penting untuk di lakukan, mengingat begitu banyak juga hak- hak adat yang seharusnya dimiliki kelompok masyarakat ini namun terkesan di halang- halangi karena kelegalitasan keberadaan masyarakat hukum adat ini yang sesuai dengan UU pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 tentang pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat yang didalam nya terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk dapat di akui sebagai masyarakat hukum adat, khususnya terhadap suku dayak dusun witu. Syarat- syarat tersebut telah tertuang didalam ayat tersebut dan secara normatif di ambil menjadi empat unsur yang menjadi ketentuan syarat tersebut, yaitu “ Sepanjang Hidup “, “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”, “Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dan “Yang Diatur dalam Undang- Undang”.

Beberapa hal yang perlu dipertanyakan untuk mendapatkan data tentang kelayakan suku dayak dusun witu untuk disebut sebagai masyarakat hukum adat sesuai dengan UU pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 yang di tarik menjadi 4 unsur, yaitu :

1. Sepanjang masih hidup
Ada di kalangan kelompok masyarakat yang tidak mampu mempertahankan kehidupannya, sebagai akibat dari keterpurukan hidup lalu mereka mencari kehidupan di tempat- tempat atau lingkungan daerah tempat lain, sehingga ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian darah. Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya selama ini, lama kelamaan menjadi pudar, akhirnya hilang sama sekali. Sedangkan daerah atau territorial yang menjadi salah satu syarat adanya hukum adat bagi suatu masyarakat, tidak mungkin mengikuti migrasi anggotanya setiap kali dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik.
Pertanyaannya, apakah suku dayak dusun witu yang ada di kecamatan dusun selatan kabupaten barito selatan propinsi Kalimantan tengah sampai sekarang masih sanggup dan bisa mempertahankan eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam persekutuan hukum adat dalam suatu wilayah tertentu, dimana para anggotanya tetap di ikat dengan pertalian darah yang kuat ? hal ini dapat dilihat dari hukum adat nya, dan ritual- ritual adat yang rutin dilakukannya.

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Persyaratan ini tentunya mengandung arti bahwa hal- hal yang menjadi ketentuan- ketentuan tradisionalnya tidak boleh bertentangan dengan kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pengaruh global. Yang dimaksudkan disini adalah semacam pengaruh isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat Universal. Hal ini dapat dinilai dari jenis hukum adat dan ritual adat tradisional suku dayak dusun witu apakah melanggar atau tidaknya dengan Hak Asasi Manusia, seperti contohnya mungkin masih ditemukannya system kasta didalam lapisan masyarakat, ada budak, ada bangsawan, dll. Atau disaat melakukan ritual adat apakah menggunakan upacara pengorbanan yang menggunakan binatang, atau manusia.

3. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Syarat ini sudah selayaknya dan harus dimiliki setiap masyarakat hukum adat. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut benar- benar murni suatu perwujudan dari ketentuan- ketentuan atau kebiasaan- kebiasaan tradisional yang telah secara turun temurun dilaksanakan. Jadi jangan sampai mewujudkan ketentuan- ketentuan modern yang terkontaminasi kehidupan politik modern. Jadi singkatnya, apakah hukum yang berlaku di dalam masyarakat adat dayak dusun witu tidak bertentangan dengan hukum yang diberlakukan bagi seluruh wilayah Indonesia dan benar asli ?

4. Yang diatur dalam Undang – Undang
Selain di amanatkan oleh UUD 1945 pasal 18B yang selajutnya sudah dijabarkan dalam peraturan perundang- undangan yang lain. Seperti dalam UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi. Dalam ketentuan UU tersebut, antara lain diatur bahwa masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 51 ayat 1 huruf b UU No. 24 tahun 2003. Dan masyarakat hukum adat yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah konstitusi dan disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat bagi Mahkamah Konstitusi adalah apakah sudah memiliki nama masyarakat hukum adat sebagai sebutannya? Lokasi ? batas- batas wilayahnya ? lembaga kepemimpinan ? serta alamat pucuk pimpinan masyarakat hukum adat ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar